
Bunga Kredit Bakal Mencekik, Kantong Orang RI Bisa Jeblos

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia akan dihadapkan pada situasi bunga kredit tinggi. Risiko yang muncul adalah perlambatan ekonomi secara nasional karena tertahannya konsumsi rumah tangga dan investasi.
Berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) rata-rata suku bunga kredit per Juli 2022 masih single digit kecuali mikro yang mencapai 10,46%. Korporasi berada di level 7,90%, ritel 8,95% dan kredit perumahan rakyat (KPR) 8,57%.
Kenaikan suku bunga kredit ditandai dengan perubahan kebijakan moneter bank sentral di seluruh negara. Seiring dengan perbaikan ekonomi selepas pandemi covid-19 yang menghantam sejak awal 2020 silam.
Amerika Serikat (AS) memang menjadi pelopor utama. Sebagai negara dengan pemegang porsi ekonomi terbesar dunia, kondisi ekonomi serta kebijakan yang ditempuh oleh AS akan memberikan dampak besar terhadap negara lain. Termasuk soal moneter.
Pulih dari covid-19, ekonomi AS dihadapkan dengan lonjakan inflasi yang biasanya hanya sekitar 1%, kini mencapai 9% atau tertinggi sepanjang sejarah. Penyebabnya adalah disrupsi rantai pasok dan diperburuk oleh lonjakan harga minyak dunia karena perang Rusia dan Ukraina.
Seperti yang terjadi 40 tahun yang lalu, langkah meredam inflasi adalah dengan kenaikan suku bunga acuan. Bank Sentral AS Federal Reserve (the Fed) sudah mewujudkannya sejak beberapa bulan lalu.
Terakhir, The Fed kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bps). Kini suku bunga acuan AS yaitu Federal Fund Rates (FFR) berada di 3,25%.
Namun yang mengejutkan adalah proyeksi dan arah suku bunga ke depan yang dirilis oleh Komite Pengambil Kebijakan (FOMC). Dalam proyeksinya, FFR bisa sampai 4,4% akhir tahun ini.
Apabila menganut proyeksi tersebut berarti dalam dua pertemuan terakhir, Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan di bawah 50 bps.
Bahkan ketika pelaku pasar memperkirakan Fed akan memangkas suku bunga acuan tahun depan, proyeksi FOMC justru sebaliknya. Tahun depan mereka masih berpotensi kembali menaikkan suku bunga acuan.
Situasi ini direspons oleh Bank Indonesia (BI) dengan menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) sebesar 50 bps menjadi 4,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 50 bps menjadi 3,50%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 50 bps menjadi 5,00%. Keputusan kenaikan suku bunga tersebut sebagai langkah front loaded, pre-emptive, dan forward looking untuk menurunkan ekspektasi inflasi.
Dampaknya, perbankan akan mengikuti kebijakan tersebut dengan kenaikan suku bunga. Memang likuiditas perbankan masih berlimpah, tapi tidak merata. Sehingga perbankan kecil dengan likuiditas menipis akan menaikkan bunga kredit.
"Kenaikan suku bunga DPK serta kredit saya perkirakan akan berawal dari bank kecil," kata Direktur Riset Core Indonesia Piter Abdullah kepada CNBC Indonesia.
Hal yang senada juga diungkapkan oleh Ekonom PT Bank BCA Tbk David Sumual kepada CNBC Indonesia. Terhadap bank dengan likuiditas melimpah, seperti buku 4, bisa menahan kenaikan suku bunga acuan hingga 3-6 bulan ke depan.
"Saya melihat kalau historis 3-6 bulan baru keliatan dampaknya. Tergantung likuiditas," ujar David.
Risiko yang muncul adalah ekonomi nasional akan tertahan. Kantong masyarakat bisa jeblos yang tergambar dalam penurunan konsumsi rumah tangga. Investasi juga tidak bisa tumbuh lebih cepat seperti yang diharapkan selepas pandemi covid-19.
"Kita harap stabilitasnya terjaga. Karena kalau over growth ada gejala over heating dan sudah anticipate dari sekarang," paparnya,
(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bos BI: Kita Sekarang Sedang Hadapi Kekacauan Global!