Ogah Mengekor Bursa Asia, IHSG Kembali Masuk Psikologis 7.100

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berakhir menguat pada penutupan perdagangan sesi I Rabu (28/9/2022). Posisi ini terbalik dengan pembukaan pagi tadi.
IHSG dibuka melemah tipis 0,07% di posisi 7.107,6. Pukul 11:00 WIB, IHSG rebound dan konsisten di zona hijau hingga ditutup dengan apresiasi 0,26% atau 18,51 poin ke 7.130,95 pada penutupan perdagangan sesi pertama pukul 11:30 WIB. Nilai perdagangan tercatat turun ke Rp 6,76 triliun dengan melibatkan lebih dari 16 miliar saham.
Statistik perdagangan mencatat ada 314 saham yang melemah dan 189 saham yang mengalami kenaikan dan sisanya sebanyak 175 saham stagnan. Saham PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) menjadi saham yang paling besar nilai transaksinya siang ini, yakni mencapai Rp 341,6 miliar.
Sedangkan saham PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) menyusul di posisi kedua dengan nilai transaksi mencapai Rp 336 miliar dan saham PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) di posisi ketiga sebesar Rp 283,2 miliar.
Pergerakan IHSG sempat merespon mayoritas indeks saham Asia yang bergerak di zona merah merespons Wall Street yang kembali tertekan semalam. Indeks S&P 500 dan Dow Jones masih dalam tekanan. Keduanya mengalami koreksi masing-masing 0,21% dan 0,43% semalam. IHSG mencoba rebound dan berjalan berlawanan arah menjelang penutupan sesi I.
Investor masih waswas akan resesi pasca ramalan suku bunga yang lebih agresif meskipun akan memukul ekonomi. Tahun 2022 memang menjadi tahun yang sulit bagi pelaku ekonomi maupun para pemodal. Investor dituntut untuk berpikir extra keras untuk menempatkan asetnya di tengah kenaikan inflasi dan suku bunga acuan yang agresif.
Mendekati akhir kuartal III-2022 pola pergerakan IHSG masih terlihat cenderung terkonsolidasi dengan potensi tekanan yang mulai menurun, tetapi para investor masih harus mewaspadai adanya potensi koreksi wajar dikarenakan sentimen dari fluktasi harga komoditas juga nilai tukar rupiah yang masih membayangi pergerakan IHSG pekan ini
Banyak ekonom yang telah memperkirakan bahwa dunia akan terjun bersama-sama ke jurang resesi pada 2023. Resesi ini tentunya dipicu oleh inflasi yang meninggi akibat melesatnya harga pangan dan energi di sejumlah negara, khususnya Eropa dan AS. Inflasi tinggi memicu bank sentral di negara maju menaikkan suku bunga dan mengetatkan likuiditas.
Sejalan dengan analisis Wells Fargo yang juga memperkirakan kenaikan suku bunga yang lebih curam oleh The Fed karena ketahanan ekonomi AS dan tekad bank sentral yang meningkat untuk menekan inflasi, kata ekonom bank Wall Street dalam sebuah catatan pada hari Selasa (27/9/2022).
Sebelumnya, Wells Fargo memperkirakan kenaikan 100 basis poin antara sekarang dan awal tahun depan, tetapi sekarang mengharapkan Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) untuk menaikkan suku sekitar 175 bps.
The Fed telah secara agresif menaikkan suku bunga sebesar 300 basis poin sepanjang tahun ini dan melihat siklus kenaikan suku bunganya berakhir pada 2023 pada 4,50%-4,75% karena berjuang untuk memadamkan serangan inflasi tertinggi sejak 1980-an.
Analis memperkirakan kisaran target akan mencapai 4,75%-5,00% pada kuartal pertama 2023, termasuk kenaikan 75 bps pada pertemuan 2 November dan kenaikan 50 bps pada pertemuan kebijakan 14 Desember.
"Ekonomi menunjukkan tanda-tanda ketahanan, yang akan memerlukan lebih banyak pengetatan moneter untuk memperlambat pertumbuhan cukup untuk membawa inflasi kembali ke target Fed 2%," kata para analis, yang dipimpin oleh kepala ekonom Jay Bryson yang dikutip dari Reuters.
Dari dalam negeri, kabar baik datang dari ramalam ekonomi Indonesia pada kuartal III-2022 diperkirakan bisa mencapai 5,6-6%. Capaian ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan posisi dua kuartal sebelumnya.
"Kuartal III kita 5,6 - 6%," ungkap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati di Gedung DPR/MPR, Jakarta, Selasa (27/9/2022).
Pendorong ekonomi Indonesia mampu melesat salah satunya adalah ekspor. Nilai ekspor Indonesia pada periode itu berhasil tumbuh 30,15% secara year on year (yoy) mencapai US$ 27,91 miliar. Neraca perdagangan pada Agustus surplus US$ 5,76 miliar.
Selain itu, konsumsi rumah tangga dan investasi juga masih tumbuh baik. "Jadi kalau kita lihat source of growth, sumber pertumbuhan ekonomi dari ekspor, dari konsumsi dan dari investasi kita masih melihat adanya momentum q3 itu masih cukup kuat, apalagi tahun lalu basisnya rendah, karena kena delta varian dan kita turun," terangnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Inflasi Indonesia Nyaris 6%, IHSG Merah di sesi I
(aum)