Ketakutan Resesi Dimana-mana, Saham Hingga Minyak Terkapar
Jakarta, CNBC Indonesia - Potensi resesi global semakin membesar dan pelaku pasar makin khawatir akan perekonomian global yang kembali lesu kedepannya.
Negara-negara akan kembali mengalami perlambatan ekonomi dan tingkat pengangguran akan mengalami kenaikan akibat dari resesi global.
Pada hari ini, kekhawatiran investor membuat pasar keuangan global 'goyah', di mana hampir seluruh aset keuangan mengalami koreksi.
Di Eropa, terutama di Inggris, mata uang Poundsterling mencetak rekor terendahnya terhadap dolar pada Senin (26/9/2022) hari ini, di tengah melonjaknya kekhawatiran tentang ekonomi Inggris setelah pemerintah mengumumkan anggaran pemotongan pajak yang besar.
Itu juga jatuh ke level terendah dua tahun terhadap euro, meskipun mata uang tunggal tetap di bawah tekanan terhadap dolar AS.
Pengamat memperingatkan bahwa pound bisa jatuh lebih jauh.
"Kejatuhan poundsterling menunjukkan pasar kurang percaya diri di Inggris dan kekuatan finansialnya sedang dikepung," kata Jessica Amir, dari Saxo Capital Markets.
Tak hanya Poundsterling saja, mata uang selain dolar Amerika Serikat (AS) pun juga bernasib sama yakni terkoreksi parah, terutama di kawasan Asia-Pasifik. Hal ini karena dolar AS sedang sangat perkasa, di mana Indeks dolar AS pada sore hari ini sudah mencapai 114,52, menjadi yang tertinggi sejak Mei 2002.
Sedangkan aksi jual terjadi secara masif terjadi di pasar saham Asia dan Eropa karena ekspektasi yang berkembang bahwa kenaikan suku bunga bank sentral untuk melawan inflasi yang tak terkendali akan menyebabkan resesi yang dalam dan menyakitkan.
Di kawasan Asia-Pasifik, koreksi bursa saham mayoritas mencapai 1%. Bahkan ada yang ambruk hingga 3%.
Indeks Nikkei 225 ambruk 2,66%, Hang Seng Hong Kong melemah 0,44%, Shanghai Composite China ambles 1,2%, Straits Times Singapura ambrol 1,27%, ASX 200 Australia tergelincir 1,6%, KOSPI Korea Selatan anjlok 3,02%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terkoreksi 0,71%.
Namun di Eropa pada hari ini dibuka cenderung naik tipis, di mana indeks DAX Jerman di awal perdagangan menguat 0,44%, indeks CAC Prancis terapresiasi 0,32%, dan Indeks FTSE naik 0,26%.
Hanya indeks Stoxx 600 yang terkoreksi tipis di awal sesi hari ini, yakni turun tipis 0,05%.
Sementara di AS pada perdagangan akhir pekan lalu kembali ambruk. Indeks Dow Jones ditutup ambles 1,62%, S&P 500 ambruk 1,72%, dan Nasdaq Composite anjlok 1,8%.
Tak hanya mata uang dan pasar saham saja, komoditas yang sebelumnya melesat akibat adanya perang dan inflasi pada hari ini juga terkoreksi parah. Seperti di komoditas minyak mentah yang pada pekan lalu merosot lebih dari 5%.
Kemudian batu bara pada pekan lalu ambruk 4,16% dan pekan ini diramal koreksinya akan berlanjut, dan beberapa komoditas lainnya yang juga terpantau ambruk.
Bahkan tak hanya koreksi di pasar keuangan dan komoditas, banyak negara yang mengalami kenaikan biaya pinjaman seperti AS, Inggris, Swiss dan Swedia.
Koreksi yang terjadi di hampir seluruh pasar keuangan global dikarenakan investor semakin khawatir bahwa potensi resesi akan menyebabkan krisis yang cukup besar.
Hal ini terjadi setelah bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) kembali menaikkan suku bunga acuan sebesar 75 basis poin (bp) pada Kamis pekan lalu. Kini, suku bunga acuan AS yaitu Federal Fund Rates (FFR) berada di 3,25%.
Otoritas moneter AS tersebut terhitung telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 5 kali. Pertama dilakukan pada Maret 2022 sebesar 25 bp. Selanjutnya di bulan Mei sebesar 50 bp.
Kemudian di bulan Juni, Juli dan terakhir September, The Fed menaikkan masing-masing 75 bp. Pelaku pasar tidak hanya menyorot soal kenaikan suku bunga acuan di bulan September karena memang sudah diantisipasi.
Namun yang mengejutkan adalah proyeksi dan arah suku bunga ke depan yang dirilis oleh Komite Pengambil Kebijakan (FOMC). Dalam proyeksinya, FFR bisa sampai 4,4% akhir tahun ini.
Apabila menganut proyeksi tersebut berarti dalam dua pertemuan terakhir, Fed tidak akan menaikkan suku bunga acuan di bawah 50 bp.
Bahkan ketika pelaku pasar memperkirakan The Fed akan memangkas suku bunga acuan tahun depan, proyeksi FOMC justru sebaliknya. Tahun depan mereka masih berpotensi kembali menaikkan suku bunga acuan.
Proyeksi tersebut yang akhirnya membuat pasar keuangan global kembali dilanda dengan koreksi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd/chd)