'Malapetaka' di Dunia Makin Nyata, Harga BBM Biang Keladinya
Jakarta, CNBC Indonesia - Resesi dunia makin menakutkan bagi berbagai negara sebab roda perekonomian akan mengalami pelambatan, tingkat pengangguran akan mengalami kenaikan. Risiko resesi terjadi akibat inflasi yang sangat tinggi. Perekonomian global mulai berputar kencang pasca bangkit dari resesi akibat pandemi Covid-19, demand melesat yang belum bisa diimbangi dengan supply.
Inflasi perlahan mulai menanjak. Harga energi juga mulai merangkak naik, yang diperparah dengan perang Rusia - Ukraina. Alhasil harga energi meroket, gas alam, minyak mentah dan batu bara naik gila-gilaan. Tingginya harga minyak mentah membuat harga Bahan Bakar Minyak (BBM) melambung khususnya di negara-negara Barat yang tidak memberikan subsidi.
Di Amerika Serikat (AS) misalnya, harga BBM mencatat rekor termahal pada Juni lalu US$ 5,02/galon. Inflasi energi semakin meroket, apalagi dengan tingginya harga gas alam membuat tarif listrik menjadi semakin mahal.
Tingginya harga BBM juga memberikan andil terhadap kenaikan harga pangan. Inflasi akhirnya menjadi tak terkendali. Di Amerika Serikat (AS), dan Eropa inflasi tercatat berada di level tertinggi dalam beberapa dekade terakhir. Di negara-negara lain juga mengalami hal yang sama, Indonesia juga merasakan dampaknya.
Bank sentral pun bertindak. Semuanya menaikkan suku bunga, bahkan dengan sangat agresif. Bank sentral AS (The Fed) Kamis lalu menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 3% - 3,25%, serta menegaskan sikap agresifnya.
Kenaikan harga BBM subsidi di dalam negeri juga membuat BI agresif mengerek suku bunga acuannya. "Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 21-22 September 2022 memutuskan untuk menaikkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar 50 bps menjadi 4,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 3,5%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 5%," kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (22/9/2022).
Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia mayoritas memperkirakan kenaikan sebesar 25 basis poin.
Perry mengatakan kenaikan suku bunga sebagai bagian dari langkah pre-emptive, front-loading dan forward looking untuk menekan ekspektasi inflasi.Ekspektasi diperkirakan akan melonjak setelah kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) Subsidi pada 2 September lalu.
"Kenaikan suku bunga untuk menurunkan ekspektasi inflasi dan memastikan inflasi inti kembali ke sasarannya.Yang kita kendalikan adalah inflasi inti karena itu menunjukkan sisi permintaan," tutur Perry dalam konferensi pershasil RDG Bulanan Bulan September 2022, Kamis (22/9/2022).
(RCI/dhf)