Bank Sentral Swedia Kerek Suku Bunga 1%!

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
Selasa, 20/09/2022 16:50 WIB
Foto: Finlandia dan Swedia mengajukan aplikasi mereka untuk NATO keanggotaan pada 18 Mei 2022 dan konsultasi sedang berlangsung antara Sekutu untuk mengangkat oposisi Turki terhadap integrasi kedua negara Nordik ke dalam Aliansi. (JOHANNA GERON/POOL/AFP via Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi tinggi yang mendarah daging di Swedia, tampaknya juga menekan Bank sentral Swedia (Sveriges Risksbank) untuk mengikuti langkah agresif dari bank sentral dunia lainnya untuk menaikkan suku bunga acuannya.

Seperti diketahui, Swedia juga diterpa oleh badai inflasi yang meninggi. Inflasi Swedia per Agustus 2022 mencapai 9,8% secara tahunan (yoy) dan menjadi level tertinggi sejak 30 tahun. Angka inflasi tersebut juga naik ketimbang bulan sebelumnya di 8,5% yoy. Secara bulanan, inflasi juga meningkat 1,5% dibandingkan Juli 2022.


Melansir data Kantor Statistik Swedia bahwa tingginya angka inflasi disebabkan oleh melonjaknya harga energi yang telah meroket hingga 29% di Agustus 2022. Sementara harga pangan dan minuman meroket 14% dan tertinggi sejak Februari 1984. Kenaikan harga pangan telah berlangsung selama sembilan bulan beruntun.

Di sepanjang tahun ini, Risksbank telah menaikkan suku bunga acuannya dua kali pada bulan April dan Mei 2022 dengan kenaikan masing-masing sebesar 25 bps dan 50 bps. Mengirim tingkat suku bunga 0% hingga menjadi 0,75%. Hal tersebut sebagai upaya untuk membawa inflasi turun.

Diketahui, ketika suku bunga tinggi, akan membuat ekspansi dunia bisnis dan konsumsi masyarakat melambat. Sehingga permintaan akan menurun, yang tentunya akan membuat inflasi melandai.

Namun, nyatanya inflasi masih bertahan, bahkan kembali menyentuh rekor tertingginya selama tiga dekade. Sehingga, membuat Risksbank untuk tetap berada dijalur hawkishnya untuk membawa inflasi turun.

Pada Selasa (20/9), Risksbank kembali menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 1% dan mengirim tingkat suku bunga acuan menjadi 1,75%. Langkah mengejutkan ini dilakukan untuk meredam inflasi yang menyentuh rekor tertingginya selama tiga dekade. Kenaikan tersebut juga menjadi yang terbesar sejak November 1992.

"Inflasi telah menjadi lebih tinggi dari perkiraan Risksbank sebelumnya dan diperkirakan akan meningkat lebih lanjut selama tahun ini," tutur Risksbank dalam sebuah pernyataan.

Sebelumnya, bank sentral Amerika Serikat (Federal Reserve/The Fed) juga pernah menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bps. Bahkan, pada pertemuannya pekan ini, pasar juga memproyeksikan The Fed akan kembali agresif dengan menaikkan suku bunga sebesar 75 bps.

Tidak hanya The Fed, bahkan pada 8 September 2022, bank sentral Eropa (ECB) juga memutuskan menaikkan suku bunganya sebesar 75 bps.

Keagresifan bank sentral tersebut dapat menyebabkan resesi karena akan membatasi pertumbuhan ekonomi. Bahkan, Menteri Keuangan Swedia Mikael Damberg memprediksikan bahwa pertumbuhan ekonominya akan melambat.

PDB diprediksikan hanya akan tumbuh 1,9% pada tahun ini, turun dari prediksi sebelumnya pada April 2022 di 3,1%. Sementara, PDB pada 2023 diprediksikan akan di 1,1%, turun dari proyeksi sebelumnya di 1,6%.

"Kita dapat mengharapkan masa-masa sulit di masa depan," tutur Damberg.

Meskipun, potensi perlambatan ekonomi hingga resesi akan terjadi, tampaknya tidak membuat Risksbank gentar untuk melawan inflasi. Kebijakan tersebut juga ditempuh bank sentral dunia lainnya saat ini. Meski, tidak secara gamblang menyatakan hal tersebut.

Resesi dinilai menjadi obat penawar untuk badai inflasi di dunia. Ketika resesi terjadi, maka inflasi akan turun lebih cepat. Maka, resesi yang menyebabkan inflasi menurun, menjadi lebih baik ketimbang harus menghadapi inflasi yang tinggi selama bertahun-tahun.

Pada Agustus 2022 lalu, Ketua The Fed Jerome Powell mengatakan bahwa untuk menurunkan inflasi yang meninggi akan menyebabkan perekonomian AS merasakan 'beberapa rasa sakit', tapi hal tersebut menjadi harga yang harus dibayarkan untuk dapat menjinakkan inflasi.

"Menurunkan inflasi perlu periode pertumbuhan ekonomi di bawah tren yang berkelanjutan. Dengan suku bunga tinggi, pertumbuhan ekonomi yang melambat dan pasar tenaga kerja yang melemah akan membawa inflasi turun. Itu adalah harga yang harus kita bayarkan untuk mengurangi inflasi. Tetapi, kegagalan untuk memulihkan stabilitas harga akan menimbulkan penderitaan yang lebih besar," tutur Powell dalam acara symposium Jackson hole Jumat (26/8/2022).

Artinya, resesi memang memiliki dampak buruk bagi perekonomian dan pasar finansial, tapi resesi dapat menurunkan inflasi yang meninggi dengan lebih cepat. Sehingga, dampak resesi dinilai masih lebih baik dibandingkan dengan inflasi yang mendarah daging dalam waktu yang lama.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aaf/aaf)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perang Iran Vs Israel Membara, Kemana Dana Investor Kakap Lari?