Waspada! Ledakan 'Super Thursday' Bisa Crash Pasar Finansial

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
19 September 2022 18:10
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell  (AP Photo/Steven Senne)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini, menjadi pekan yang tidak biasa karena investor global akan disibukkan dengan pertemuan bank sentral utama dunia negara sekaligus. Bahkan, ketiga bank sentral tersebut diramal akan bertindak agresif dan meningkatkan potensi resesi global. Pasar finansial pun terancam mengalami crash

Pada Kamis (22/9/2022), dua dari lima ekonomi terbesar dunia akan mengadakan pertemuan bank sentral yakni bank sentral Amerika Serikat (AS) (Federal Reserve/The Fed) dan Bank of England (BOE). Kemudia ada Swiss National Bank (SNB) juga akan menggelar pertemuan untuk mendiskusikan kebijakan moneternya. Selain itu, di hari yang sama Bank Indonesia (BI) juga akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG). 

Dunia saat ini menghadapi tantangan dan ujian yang sangat berat. Selain krisis kesehatan akibat pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih, kini dunia juga dihadapkan dengan perang Rusia dan Ukraina yang membuat pasokan pangan dan energi terhambat. Sehingga, membuat harga komoditas-komoditas dunia melonjak.

Akibatnya, harga energi dan pangan pun naik hingga mendorong angka inflasi melesat. Bahkan, di beberapa negara, angka inflasi kian memburuk dan menyentuh rekor tertingginya.

Hal tersebut memaksa bank sentral untuk memperketat kebijakan moneternya untuk meredam inflasi yang kian meninggi. Namun, pertumbuhan ekonomi pun cenderung melambat, sehingga kebijakan bank-bank sentral di dunia untuk menaikkan suku bunga acuannya menjadi hal yang cukup dilematis karena dapat memicu resesi.

Bahkan, secara teknis, negara dengan perekonomian terbesar di dunia seperti Amerika Serikat (AS) sudah mengalami resesi karena pertumbuhan ekonomi yang terkontraksi selama dua kuartal beruntun tahun ini.

US Bureau of Economic Analysis melaporkan Produk Domestik Bruto (PDB) AS kuartal I-2022, terkontraksi 1,6% (quarter-to-quarter/qtq). Lalu pada kuartal II-2022, ekonomi Negeri Paman Sam kembali terkontraksi 0,9% qtq.

Meski begitu, pasar memprediksikan bahwa The Fed masih akan terus menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan selanjutnya bulan ini untuk meredam inflasi.

Hal tersebut terjadi setelah rilis data inflasi AS pada Agustus 2022 yang berada di 8,3% secara tahunan (year-on-year/yoy) pada Selasa (13/9/2022). Angka ini meleset dari prediksi ekonom yang disurvei oleh Reuters, yang memperkirakan inflasi akan berada di 8,1%.

Jika mengacu pada alat ukur FedWatch, pasar memprediksikan peluang sebanyak 80% bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin (bps) menjadi 3%-3,25%. Sementara sisanya memproyeksikan The Fed akan lebih agresif lagi dengan menaikkan suku bunga sebesar 100 bps menjadi 3,25%-3,5%.

Sebelumnya, The Fed pernah menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 bps pada November 1978 dan Mei 1981 di bawah kepemimpinan Paul Volcker dan menyebabkan pasar saham crash hampir 60%. Indeks S&P 500 kehilangan rata-rata 2,4% selama bulan tersebut.

Bahkan, Goldman Sachs memangkas perkiraan pertumbuhan PDB AS pada 2023 karena The Fed lebih agresif sepanjang sisa tahun ini dan akan mendorong tingkat pengangguran lebih tinggi dari yang diproyeksikan sebelumnya.

Goldman memprediksikan pertumbuhan PDB hanya sebesar 1,1% pada 2023, turun dari perkiraan sebelumnya di 1,5%. Tidak hanya itu, mereka juga merevisi perkiraanya bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 75 bps pekan ini, naik dari perkiraan sebelumnya yang hanya di 50 bps.

Lalu, pada November dan Desember 2022, The Fed diperkirakan akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 50 bps dan mengirim tingkat suku bunga menjadi 4% - 4,25% pada akhir tahun.

"Jalur suku bunga yang lebih tinggi ini dikombinasikan dengan pengetatan baru-baru ini dalam kondisi keuangan menyiratkan pandangan yang agak lebih buruk untuk pertumbuhan dan pekerjaan tahun depan," tulis Goldman.

Tingkat pengangguran diprediksikan akan naik 0,1% ke 3,7% pada akhir tahun ini, dan kembali naik menjadi 4,1% pada akhir 2023.

Lantas, bagaimana dengan bank sentral lainnya?

HALAMAN SELANJUTNYA >>> 

Pada hari yang sama, bank of England (BOE) juga akan menggelar pertemuan untuk mendiskusikan kebijakan moneternya yang sempat ditunda karena acara pemakaman Ratu Elizabeth II.

Mengacu pada alat ukur BOEWatch, sebanyak 51% analis memprediksikan bahwa BOE akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) dan akan mengirim tingkat suku bunga menjadi 2,25% dari 1,75%. Sementara sisanya, memproyeksikan kenaikan sebesar 75 bps dengan tingkat suku bunga menjadi 2,5%.

Tingginya inflasi di Inggris membuat BOE juga bertindak agresif untuk meredam inflasi. Seperti diketahui, indeks Harga Konsumen (IHK) Inggris pada Agustus 2022 masih mencatatkan inflasi sebesar 9,9% secara year-on-year (yoy). Angka inflasi ini memang melandai ketimbang bulan sebelumnya di 10,1% yoy, tapi masih dinilai cukup tinggi karena berada di atas target BOE di 2%.

BoE sebelumnya juga telah memberi peringatan bahwa Inggris akan jatuh ke dalam resesi karena kenaikan suku bunga terbesar dalam 27 tahun dalam upaya memerangi inflasi. BoE menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada Agustus menjadi 1,75%, kenaikan suku bunga terbesar sejak 1995 dan menjadi yang keenam berturut-turut.

Menurut jejak pendapat Reuters, perekonomian Inggris diperkirakan menyusut dalam kuartal III 2022 dan akan terus melemah hingga akhir 2023. Ekonomi Inggris pada 2022 diperkirakan tumbuh 3,5% dibandingkan pada 2021 sebesar 7,4% sementara 2023 tumbuh 0,2%.

Hal serupa juga terjadi pada Swiss, inflasi pada Agustus 2022 meningkat menjadi 3,5% yoy dan menjadi level tertinggi dalam tiga dekade. Angka inflasi tersebut juga berada jauh di atas target Swiss National Bank (SNB) di 2%. Meningkatnya biaya energi menjadi pemicu lonjakan inflasi di negeri Alphine tersebut.

Pekan lalu, Presiden SNB Thomas Jordan menyatakan kekhawatirannya bahwa prospek inflasi yang lebih tinggi akan terjadi. Sehingga SNB sedang mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan 22 September 2022, mengekor bank sentral lainnya di dunia.

Hingga saat ini, tingkat suku bunga SNB menjadi satu-satunya yang masih berada di zona negatif di -0,25%. Namun, jajak pendapat analis Reuters memprediksikan bahwa SNB akan menaikkan suku bunga acuannya hingga 75 bps dan membawa tingkat suku bunga SNB ke 0,5%.

Dari dalam negeri, investor juga akan disibukkan dengan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang akan digelar pada 21-22 September 2022. Konsensus analis Trading Economics memprediksikan bahwa BI akan mengekor The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps, melanjutkan pengetatan kebijakan moneternya dari bulan sebelumnya.

Seperti diketahui, pada 23 Agustus 2022, BI sempat memberikan kejutan dengan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps menjadi 3,75%, ketika pasar bertaruh bahwa BI akan tetap menahan suku bunga acuannya. Kenaikan tersebut menjadi yang pertama kalinya sejak 18 bulan lalu.

Dalam konferensi persnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa kenaikan tersebut menjadi langkah preemptive dan forward looking untuk menjangkar ekspektasi inflasi inti akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan volatile food. Selain itu, keputusan ini dilakukan dalam rangka memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai fundamental dengan tingginya ketidakpastian global yang semakin kuat.

Padahal, inflasi RI per Agustus 2022 mengalami deflasi sebesar 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Jika dibandingkan dengan Agustus 2021, inflasi berada di 4,69%, melandai dibandingkan bulan sebelumnya di 4,94%. Meski begitu, Perry Warjiyo menilai bahwa inflasi tersebut masih cukup tinggi.

"Inflasi 4,69%, masih tinggi," ungkapnya dalam rapat koordinasi pusat dan daerah pengendalian inflasi 2022, Rabu (14/9/2022).

Tingginya inflasi dikarenakan kenaikan harga komoditas pangan yang suli diredam. Hingga Agustus, inflasi pangan mencapai 8,93%. "Harga pangan bergejolak harus turun ke level 5-6%," jelasnya.

Ditambah lagi, pada awal bulan ini, pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM jenis Petralite, Solar dan Pertamax, yang tentunya dapat mendorong inflasi ke depannya.

Bahkan, DBS Group Research, dalam risetnya yang dikutip CNBC Indonesia, Jumat (9/9/2022), memperkirakan inflasi utama pada akhir 2022 mengarah ke angka 6,5-7% secara tahunan dan menaikkan rata-rata setahun penuh ke 5,0%. Sementara 2023 menjadi 3,8%.

Tidak hanya itu, ekonom Bank Mandiri Faisal Rahman menyatakan kenaikan harga BBM, baik Solar, Pertalite dan Pertamax, berisiko dapat memangkas pertumbuhan ekonomi sampai dengan 0,33 ppt.

Faisal menjelaskan naiknya inflasi akibat kenaikan harga ketiga jenis BBM ini tentunya dapat mengurangi daya beli masyarakat, terlebih konsumsi BBM jenis Pertalite merupakan yang terbesar dalam konsumsi bensin secara total di Indonesia.

"Hal ini akan berisiko mengurangi pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang diharapkan menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 ini," ungkapnya.

Kendati melambat, Faisal menuturkan Bank Mandiri melihat pertumbuhan ekonomi akan tetap di kisaran 5% secara full-year pada tahun 2022 ini.

Lembaga pemeringkat Fitch Ratings dalam laporannya dalam Global Economic Outlook (GEO) September 2022, kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia tahun ini. Fitch memproyeksikan PDB global akan tumbuh sebesar 2,4% pada 2022 - direvisi turun 0,5 poin persentase sejak GEO Juni - dan hanya 1,7% pada 2023, pemotongan hingga 1 poin persentase.

Kepala Analis Fitch Ratings Brian Coulton menyatakan bahwa penurunan prediksi tersebut seiring dengan krisis yang terjadi di berbagai belahan dunia.

Zona euro dan Inggris pun diperkirakan memasuki resesi akhir tahun ini dan Fitch memproyeksikan bahwa AS akan mengalami resesi ringan pada pertengahan 2023.

Fitch memperkirakan ekonomi zona euro berkontraksi sebesar 0,1% pada 2023 - penurunan 2,2 poin persentase sejak Juni yang mencerminkan dampak krisis gas alam.

Sementara itu, Fitch memperkirakan pertumbuhan AS sebesar 1,7% pada 2022 dan 0,5% pada tahun 2023, direvisi turun masing-masing sebesar 1,2 poin persentase dan 1 poin persentase.

Selain itu, di China, pembatasan Covid-10 dan kemerosotan properti yang berkepanjangan membuat proyeksi pertumbuhan PDB turun 0,9 poin persentase menjadi 2,8% pada 2022 dan akan pulih menjadi 4,5% pada 2023.

Perkiraan tersebut menimbang adanya larangan pasokan gas Rusia ke Eropa. Terlepas dari upaya UE untuk menemukan alternatif energi, total pasokan gas UE akan turun secara signifikan dalam jangka waktu yang dekat, dan akan memberikan dampak terhadap rantai pasokan industri.

Dampak tersebut akan kian memburuk, jika Eropa menerapkan pembatasan penggunaan gas. Negara yang akan paling terdampak yakni Jerman. Harga gas dan listrik di Eropa juga telah meningkat sepuluh kali lipat. Dengan begitu, tentunya Indeks Harga Konsumen (IHK) juga akan terkerek naik.

Inflasi yang tinggi dan persisten, ekspektasi inflasi jangka pendek yang meningkat, dan pasar tenaga kerja yang ketat telah mendorong The Fed, Bank of England (BOE) untuk berubah lebih hawkish dalam beberapa bulan terakhir.

The Fed sekarang diperkirakan akan menaikkan suku bunga menjadi 4% pada akhir tahun dan menahannya hingga 2023 dan suku bunga bank BOE diperkirakan mencapai 3,25% pada Februari 2023.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular