
Waspada! Ledakan 'Super Thursday' Bisa Crash Pasar Finansial

Pada hari yang sama, bank of England (BOE) juga akan menggelar pertemuan untuk mendiskusikan kebijakan moneternya yang sempat ditunda karena acara pemakaman Ratu Elizabeth II.
Mengacu pada alat ukur BOEWatch, sebanyak 51% analis memprediksikan bahwa BOE akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 50 basis poin (bps) dan akan mengirim tingkat suku bunga menjadi 2,25% dari 1,75%. Sementara sisanya, memproyeksikan kenaikan sebesar 75 bps dengan tingkat suku bunga menjadi 2,5%.
Tingginya inflasi di Inggris membuat BOE juga bertindak agresif untuk meredam inflasi. Seperti diketahui, indeks Harga Konsumen (IHK) Inggris pada Agustus 2022 masih mencatatkan inflasi sebesar 9,9% secara year-on-year (yoy). Angka inflasi ini memang melandai ketimbang bulan sebelumnya di 10,1% yoy, tapi masih dinilai cukup tinggi karena berada di atas target BOE di 2%.
BoE sebelumnya juga telah memberi peringatan bahwa Inggris akan jatuh ke dalam resesi karena kenaikan suku bunga terbesar dalam 27 tahun dalam upaya memerangi inflasi. BoE menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin pada Agustus menjadi 1,75%, kenaikan suku bunga terbesar sejak 1995 dan menjadi yang keenam berturut-turut.
Menurut jejak pendapat Reuters, perekonomian Inggris diperkirakan menyusut dalam kuartal III 2022 dan akan terus melemah hingga akhir 2023. Ekonomi Inggris pada 2022 diperkirakan tumbuh 3,5% dibandingkan pada 2021 sebesar 7,4% sementara 2023 tumbuh 0,2%.
Hal serupa juga terjadi pada Swiss, inflasi pada Agustus 2022 meningkat menjadi 3,5% yoy dan menjadi level tertinggi dalam tiga dekade. Angka inflasi tersebut juga berada jauh di atas target Swiss National Bank (SNB) di 2%. Meningkatnya biaya energi menjadi pemicu lonjakan inflasi di negeri Alphine tersebut.
Pekan lalu, Presiden SNB Thomas Jordan menyatakan kekhawatirannya bahwa prospek inflasi yang lebih tinggi akan terjadi. Sehingga SNB sedang mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga acuannya pada pertemuan 22 September 2022, mengekor bank sentral lainnya di dunia.
Hingga saat ini, tingkat suku bunga SNB menjadi satu-satunya yang masih berada di zona negatif di -0,25%. Namun, jajak pendapat analis Reuters memprediksikan bahwa SNB akan menaikkan suku bunga acuannya hingga 75 bps dan membawa tingkat suku bunga SNB ke 0,5%.
Dari dalam negeri, investor juga akan disibukkan dengan Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI) yang akan digelar pada 21-22 September 2022. Konsensus analis Trading Economics memprediksikan bahwa BI akan mengekor The Fed untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps, melanjutkan pengetatan kebijakan moneternya dari bulan sebelumnya.
Seperti diketahui, pada 23 Agustus 2022, BI sempat memberikan kejutan dengan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 bps menjadi 3,75%, ketika pasar bertaruh bahwa BI akan tetap menahan suku bunga acuannya. Kenaikan tersebut menjadi yang pertama kalinya sejak 18 bulan lalu.
Dalam konferensi persnya, Gubernur BI Perry Warjiyo mengatakan bahwa kenaikan tersebut menjadi langkah preemptive dan forward looking untuk menjangkar ekspektasi inflasi inti akibat kenaikan bahan bakar minyak (BBM) nonsubsidi dan volatile food. Selain itu, keputusan ini dilakukan dalam rangka memperkuat stabilisasi nilai tukar rupiah sesuai fundamental dengan tingginya ketidakpastian global yang semakin kuat.
Padahal, inflasi RI per Agustus 2022 mengalami deflasi sebesar 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Jika dibandingkan dengan Agustus 2021, inflasi berada di 4,69%, melandai dibandingkan bulan sebelumnya di 4,94%. Meski begitu, Perry Warjiyo menilai bahwa inflasi tersebut masih cukup tinggi.
"Inflasi 4,69%, masih tinggi," ungkapnya dalam rapat koordinasi pusat dan daerah pengendalian inflasi 2022, Rabu (14/9/2022).
Tingginya inflasi dikarenakan kenaikan harga komoditas pangan yang suli diredam. Hingga Agustus, inflasi pangan mencapai 8,93%. "Harga pangan bergejolak harus turun ke level 5-6%," jelasnya.
Ditambah lagi, pada awal bulan ini, pemerintah memutuskan untuk menaikkan harga BBM jenis Petralite, Solar dan Pertamax, yang tentunya dapat mendorong inflasi ke depannya.
Bahkan, DBS Group Research, dalam risetnya yang dikutip CNBC Indonesia, Jumat (9/9/2022), memperkirakan inflasi utama pada akhir 2022 mengarah ke angka 6,5-7% secara tahunan dan menaikkan rata-rata setahun penuh ke 5,0%. Sementara 2023 menjadi 3,8%.
Tidak hanya itu, ekonom Bank Mandiri Faisal Rahman menyatakan kenaikan harga BBM, baik Solar, Pertalite dan Pertamax, berisiko dapat memangkas pertumbuhan ekonomi sampai dengan 0,33 ppt.
Faisal menjelaskan naiknya inflasi akibat kenaikan harga ketiga jenis BBM ini tentunya dapat mengurangi daya beli masyarakat, terlebih konsumsi BBM jenis Pertalite merupakan yang terbesar dalam konsumsi bensin secara total di Indonesia.
"Hal ini akan berisiko mengurangi pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang diharapkan menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2022 ini," ungkapnya.
Kendati melambat, Faisal menuturkan Bank Mandiri melihat pertumbuhan ekonomi akan tetap di kisaran 5% secara full-year pada tahun 2022 ini.
(aaf/aaf)