Komisi Gojek-Grab Dipangkas, Apa Efek ke Driver dan Konsumen?

Tim Riset, CNBC Indonesia
10 September 2022 12:58
Ilustrasi aturan baru tarif ojek online. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Ilustrasi aturan baru tarif ojek online. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Komisi Menopang Belasan Juta UMKM

Aplikator seperti Gojek dan Grab juga memiliki sifat bisnis yang multi-sided, maka bisa dikatakan tidak hanya driver dan konsumen saja yang menikmati biaya jasa aplikasi ini, melainkan para pengusaha UMKM. Produk yang dikembangkan untuk mendukung UMKM seperti layanan jasa antarmakanan dan logistik, serta sangat bergantung dari biaya jasa aplikasi ini. Ketegantungan ini mulai dari solusi teknologi untuk UMKM dalam menjangkau konsumen, hingga dalam menghadirkan beragam program promosi bagi konsumen guna membeli produk-produk UMKM.

Bayangkan, ekosistem GoTo menggabungkan 2,6 juta mitra driver dan 15,1 juta merchant. Bahkan nilai transaksi bruto (GTV) GoTo menembus Rp 461,6 triliun, setara 2% dari pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2021. Selama pandemi, lebih dari 4 juta UMKM baru bergabung di Gojek, Tokopedia, dan GoTo Financial. Gojek pun membidik 30.000 UMKM di 13 kawasan prioritas pemerintah untuk UMKM Go Online, menggandeng Kominfo.

Sementara itu, Grab dan OVO juga ikut menjadi mitra strategis pemerintah guna mendukung tercapainya 30 juta UMKM yang didigitalisasi pada 2024. Adapun e-commerce Bukalapak melalui Mitra Bukalapak juga sudah merangkul lebih dari 10 juta UMKM di Indonesia demi mentransformasikan bisnis mereka sehingga sejajar dengan bisnis-bisnis modern.

Nasib UMKM dan sokongan kontribusi teknologi ini pun mestinya menjadi perhatian bersama, termasuk pemerintah, mengingat berdasarkan data Kadin Indonesia, teknologi terbukti mampu mendongkrak pamor sektor UMKM. Merujuk data Kadin, dari 12,5% UMKM yang sudah menerapkan strategi jualan online saat pandemi 2020-2021, semuanya tidak kena dampak ekonomi. Bahkan 27,6% di antaranya menunjukkan peningkatan penjualan.

Dengan melihat banyak pertimbangan, Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira, sempat menilai bahwa pemerintah mestinya berhati-hati mendesain kenaikan tarif, karena harus melihat peningkatan konsumsi kelas menengah, tingkat inflasi, dan juga tantangan yang menghambat daya beli. "Jadi kenaikan tarif seolah membantu pendapatan driver tapi sebenarnya bisa blunder," katanya, Agustus lalu.

Saat ini, disposable income (pendapatan yang digunakan membeli barang dan jasa) dari konsumen ojol juga tergerus oleh harga pangan. Jadi naiknya tarif ojol bisa berimbas ke kenaikan biaya pengiriman makanan dan barang. Otomatis kalau antarpenumpang naik tarifnya, maka layanan sejenis juga akan naik.

"Yang rugi pelaku UMKM makanan minuman dan konsumen secara luas karena biaya ongkir jadi lebih mahal," katanya.

Dampak bagi Bisnis Aplikator

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Nailul Huda menilai, pengurangan biaya sewa aplikasi untuk transportasi ojol dapat menyebabkan beberapa layanan yang sudah dibuat aplikator menjadi tidak maksimal. Nailul pun menyarankan pemerintah untuk berhati-hati di dalam mengatur biaya sewa aplikasi ini.

"Situasi ini bisa membuat aplikator menaikkan tarif ke ambang batas atas. Hal itu tentu akan membuat konsumen berpikir ulang untuk menggunakan ojol dalam aktivitas mereka sehari-hari yang artinya bisa berdampak permintaan layanan ojol," ucap Nailul.

Model bisnis aplikator seperti Gojek, Grab, In-Driver, dan Maxim bergantung pada komisi untuk menutupi ongkos operasional, yang terdiri dari pengembangan dan pemeliharaan teknologi; biaya sales, marketing dan promosi kepada pelanggan; biaya insentif kepada pengendara; dan inovasi yang bertujuan untuk meningkatkan penggunaan aplikasi.

Terlebih, beberapa perusahaan aplikator yang sudah berstatus go public seperti Gojek di Bursa Efek Indonesia lewat bendera GOTO dan Grab di Nasdaq masih berada dalam posisi rugi (kerugian nett GoTo khusus periode Q2-2022 Rp7,6 triliun, sementara itu kerugian nett Grab di Q2 Rp8,5 triliun atau US$ 572 juta).

Jika komisi dipangkas, para aplikator belum tentu mampu untuk menjalankan model bisnis saat ini dan akan berimbas ke jutaan bahkan puluhan juta orang yang bergantung pada aplikator sebagai mata pencaharian, termasuk para mitra dan pelanggannya.

Perlu ada jalan tengah bagi pengambil kebijakan untuk menentukan besaran komisi yang pantas dan proporsional dengan investasi besar yang dikeluarkan. Hal ini penting mengingat dengan komisi yang di bawah ketentuan umum global, berpotensi bisa menghambat kemampuan perusahaan dalam menggandakan cakupan bisnisnya. Dampak lainnya dan berefek panjang ialah menurunnya kemampuan perusahaan aplikator untuk terus mengembangkan fitur-fitur yang dihadirkan guna mendukung kenyamanan, tidak hanya bagi konsumen melainkan juga bagi jutaan UMKM yang bergantung dalam ekosistemnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

(pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular