Sedang Tumbuh Tinggi, PDB Australia Diramal Hard Landing!

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
07 September 2022 15:30
Bendera Australia
Foto: Bendera Australia (Photo by Steven Paston/PA Images via Getty Images)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Australia diprediksikan akan mengalami masalah meski melonjaknya harga komoditas telah mendorong ekonomi Australia terus tumbuh tinggi saat ini. Masalah utama yakni tingginya inflasi, yang membuat bank sentral Australia (RBA) telah menarik 'rem' dengan agresif.

Biro Statistik Australia melaporkan PDB pada kuartal II-2022 melesat ke 3,6% dari 3,3% pada kuartal sebelumnya. Bahkan, angka tersebut melampaui ekspektasi pasar yang memprediksikan di 3,4%. Angka pertumbuhan tersebut menjadi yang terbesar sejak 2011 karena Australia telah membuka kembali perbatasan domestik maupun internasional sejak Covid-19 melanda. Secara kuartalan, PDB Australia meningkat 0,9%.

Perekonomian Australia yang terus meningkat pesat, didominasi oleh ekspor yang melonjak. Ekspor melesat 5,5% dan berkontribusi menambah 1 poin persentase kepada PDB. Ekspor tersebut didominasi oleh pertambangan khususnya batu bara. Diketahui, sektor pertambangan memiliki porsi 13,5% terhadap total PDB.

Pada periode Januari-Juni 2022, nilai ekspor batu bara saja telah menghasilkan lebih dari AU$ 100 miliar dan berhasil membuat transaksi berjalan Australia surplus AU$ 18,3 miliar di Juni 2022 atau lebih dari enam kali lipat sejak Maret 2022. Surplus transaksi berjalan Australia telah berlangsung selama 13 bulan beruntun dan menjadi rekor terpanjang dalam sejarah.

Melesatnya nilai ekspor disebabkan harga batu bara acuan dunia yang melonjak. Bahkan, pada Selasa (6/9) harga batu bara kembali menyentuh posisi tertinggi sepanjang sejarah di US$ 460/ton.

Sementara, ekspor jasa melesat 13,7% mengindikasikan siswa internasional yang kembali ke Australia. Kenaikan tersebut menjadi yang tertinggi sejak September 2000, yang kala itu sedang digelar Olimpiade Sydney.

ekspor australiaFoto: The Guardian, ABS
ekspor australia

Satu sisi, Australia tengah mengurangi porsi impornya karena pelonggaran pembatasan aktivitas telah mendorong masyarakatnya untuk berpergian ke luar negeri. Selain itu, konsumsi pemerintah juga turun 0,2 poin persentase karena penurunan pengeluaran pada sektor kesehatan.

Namun, PDB yang melesat tersebut diprediksikan menjadi awal dari perlambatan ekonomi.

"Ada perlambatan, jika belum, maka dipastikan akan datang," tutur Kepala Analis KPMG Brendan Rynne dikutip dari The Guardian.

"Perlambatan itu kemungkinan besar akan berakselerasi karena RBA terus mengerem ekonomi dengan menaikkan suku bunga dari level luar biasa rendah dalam beberapa waktu ini," tambahnya.

Pada Selasa (6/9), RBA menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 50 basis poin (bps) mengirim tingkat suku bunga ke 2,35% dan menjadi yang tertinggi sejak awal 2015. Langkah tersebut diambil sebagai respon untuk meredam angka inflasi yang melonjak.

"Jalan untuk membawa harga kembali ke keseimbangan adalah sempit dan diselimuti ketidakpastian, paling tidak karena perkembangan global," kata bank itu dalam sebuah pernyataan, dikutip AFP.

Diketahui, inflasi di Australia pada kuartal II-2022 berada di 6,1% dan menyentuh posisi tertinggi dalam 21 tahun terakhir. Inflasi diperkirakan akan terus meningkat selama beberapa bulan ke depan, bahkan RBA memperkirakan inflasi akan mencapai puncaknya pada 7,75% tahun ini. Namun, akan turun menjadi 4% tahun depan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Kiamat Pekerja Hingga Suku Bunga Tinggi!

Tingkat pengangguran di Negeri Kanguru tersebut telah berada pada level terendah dalam 50 tahun terakhir di 3,4%, tetapi kabar buruknya karena mereka kekurangan tenaga kerja saat ini. Penutupan perbatasan yang berlangsung lebih dari dua tahun selama pandemi turut memblokir akses ke pekerja potensial.

Masalah kekurangan pekerja ini juga terjadi akibat sistem visa Australia yang sulit dilalui para pekerja migran. Bahkan sebelum pandemi. Diketahui bahwa ratusan ribu orang menunggu aplikasi visa mereka diproses. Ini menciptakan disinsentif bagi pelamar baru yang sangat terampil, yang mungkin mendapatkan penawaran di tempat lain.

Pemerintah Australia juga telah mengusahakan dengan meningkatkan jumlah migrasi permanen menjadi 195.000 orang, meningkat 35.000 orang. Namun, hal tersebut tentunya membutuhkan waktu penyesuaian untuk dapat mengisi kembali kesenjangan pasar tenaga kerja.

Pasar tenaga kerja yang ketat membuat upah naik lumayan tinggi yang tentunya menguntungkan para pekerja. Hal tersebut kian membuat konsumsi masyarakat naik. Tercermin dari penjualan ritel yang terus tumbuh.

Pada Senin (5/9), Biro Statistik Australia melaporkan angka penjualan ritel di Agustus 2022 tumbuh 1,3% ketimbang bulan sebelumnya menjadi AU$ 34,7 miliar dan menjadi posisi tertinggi dalam 4 bulan terakhir. Jika dibandingkan dengan periode Agustus 2021, angka penjualan ritel melesat 16,5%.

"Jelas konsumen Australia tidak melempar handuk menghadapi kenaikan harga dan tingginya suku bunga," kata Marcel Thieliant, ekonom senior di Capital Economics, sebagaimana dilansirCNBC International.

"Tingginya penjualan ritel menggambarkan melonjaknya pendapatan tenaga kerja, pertumbuhan pekerja sangat kuat begitu juga dengan tingkat saving rumah tangga tinggi," tambah Thieliant.

Pasar tenaga kerja yang ketat, berpotensi membuat RBA akan terus agresif untuk meredam konsumsi masyarakat dengan menaikkan suku bunga acuannya.

Kepala Analis KPMG Brendan Rynne memprediksikan RBA akan terus menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 25 bps pada Oktober 2022 dan membawa tingkat suku bunga di 2,6%. Kepala Analis Commonwealth Bank Gareth Aird juga sependapat.

"Kami pikir jika RBA berhenti setidaknya selama beberapa bulan dalam siklus pengetatan mereka, ketika suku bunga di 2,6% atau 2,85%," tutur Aird.

Namun, Aird menilai dengan kebijakan yang super ketat, kemungkinan akan menghasilkan hard landing dalam perekonomian.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular