
Saham Batu Bara vs CPO, Mana Lebih Cuan dari Awal Tahun?

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham emiten tambang batu bara mencetak cuan jumbo seiring 'panasnya' harga batu bara sepanjang tahun. Sementara, saham emiten produsen minyak sawit mentah (CPO)juga sukses naik, kendati harga komoditas sawit merosot sejak awal tahun (YtD).
Apabila dibandingkan, kinerja YtD saham batu bara jauh mengungguli saham CPO lantaran ditopang rapor keuangan yang moncer imbas dari meroketnya harga si batu hitam.
Harga sederet emiten besar batu bara melambung tinggi tahun ini, bahkan satu di antaranya menjadi saham top gainers sejauh ini.
ADMR Sampai ADRO
Saham emiten Grup Adaro, PT Adaro Minerals Indonesia (ADMR) meroket 1.565/saham sejak awal melantai di bursa pada 3 Januari 2022. Kenaikan saham tertinggi pada tahun ini.
Saham ini memang banyak diminati sejak masa penawaran perdana (IPO) dan ditopang boom commodities sepanjang tahun di tengah kecamuk perang di Ukraina.
Hanya saja, sejak menyentuh Rp2.990 per saham pada 19 April lalu, harga saham ADMR merosot 44,31 persen.
Soal kinerja teranyar, emiten yang dikendalikan oleh pengusaha Garibaldi 'Boy' Thohir tersebut membukukan kenaikkan laba signifikan pada semester I-2022. Laba bersih nyaris naik 500% yang diiringi kenaikan penjualan perseroan pada periode tersebut.
Berdasarkan laporan keuangan yang dipublikasikan perseroan, laba bersih tercatat naik 490,97% dari US$ 34,18 juta menjadi US$ 202 juta atau setara Rp 3 triliun.
Dari sisi pendapatan, tercatat mengalami peningkatan 165,40% menjadi US$ 435,66 juta atau setara Rp 6,48 triliun dibanding periode sebelumnya US$ 164 juta.
Selain ADMR, saham emiten batu bara milik taipan Peter Sondakh PT Golden Eagle Energy Tbk (SMMT) 'terbang' 303,47 persen ke Rp 815 per saham YtD.
Tidak hanya itu, saham emiten Grup Bakrie PT Bumi Resources Tbk (BUMI) dan emiten yang sebagian sahamnya dikuasai investor kawakan Lo Kheng Hong (LKH) PT ABM Investama Tbk (ABMM) masing-masing melambung tinggi 207,46 persen dan 161,97 persen.
Khusus BUMI, masuknya investor asing (NBS Clients), kinerja fundamental yang membaik, serta aksi korporasi private placement demi pembayaran utang perusahaan menjadi sentimen utama pendorong terkereknya harga saham.
Sebagai informasi, harga batu bara mencatatkan rekor baru, kemarin. Pada perdagangan Senin (5/9/2022), harga batu kontrak Oktober di pasar ICE Newcastle ditutup di US$ 463,75 per ton. Harganya terbang 5,18% dibandingkan perdagangan terakhir pada pekan lalu, Jumat.
Harga pada penutupan kemarin menjadi yang tertinggi dalam sejarah. Harga tersebut sekaligus melewati rekor sebelumnya, yakni US$ 446 per ton yang tercatat pada 2 Maret 2022 atau hanya beberapa hari setelah perang Rusia-Ukraina meletus.
Penguatan kemarin juga memperpanjang reli harga batu bara yang sudah berlangsung sejak Kamis pekan lalu. Dalam sepekan, harga batu bara sudah melonjak 11,6% secarapoint-to-point.Dalam sebulan, harga batu bara terbang 33,7% dan 205,60% secara YtD.
Rekor baru pada Senin kemarin masih dipicu oleh krisis gas Eropa. Rusia sudah menegaskan sikapnya jika mereka tidak akan memasok gas ke Eropa secara penuh jika sanksi kepada Rusia belum dicabut.
Seperti diketahui, Eropa dan beberapa negara Barat serta Jepang memberikan sejumlah sanksi kepada Rusia setelah mereka menginvasi Ukraina.
Termasuk dalam sanksi tersebut adalah larangan impor batu bara. Negara Barat juga sudah mengeluarkan dari sistem keuangan dunia Society Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) sebagai bagian dari sanksi ekonomi ke Negara Beruang Merah.
Saham CPO Tercuan
Kendati tidak secemerlang saham-saham batu bara di atas, sejumlah saham emiten CPO masih bisa mengalami peningkatan harga yang tinggi tahun ini. Walaupun, beberapa nama besar malah terkoreksi.
Untuk yang tercuan, saham PT Gozco Plantations Tbk (GZCO) melonjak tinggi hingga 101,45% ytd ke Rp139/saham.
Catatan saja, walau naik tinggi, sejak menembus harga Rp232/saham pada 18 April 2022, saham GZCO cenderung dalam tren menurun.
Nama lainnya, saham PT Sawit Sumbermas Sarana Tbk (SSMS) terapresiasi 40,41% ytd menjadi Rp1.355/saham, sedangkan PT Cisadane Sawit Raya Tbk (CSRA) naik 33,00%.
Berbeda nasib, duo saham emiten Grup Salim PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) dan PT Salim Ivomas Pratam Tbk (SIMP) malah terkoreksi sepanjang tahun ini.
Harga saham LSIP turun 1,27%, sedangkan saham sang induk SIMP merosot 2,19%.
Selain Grup Salim, saham emiten Grup Astra PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) turun 4,74% ke Rp9.050/saham secara ytd.
Pergerakan saham-saham CPO di atas terjadi seiring amblasnya harga kontrak berjangka CPO di Bursa Malaysia tahun ini.
Secara YtD, harga CPO turun signifikan sebesar 16,38% ke posisi MYR3.916/ton per Senin (5/9).
Sementara itu, mengutip The Edge Markets, Fitch Solutions Country Risk and Industry Research memproyeksi, tren penurunan harga CPO saat ini akan berlanjut dalam empat tahun ke depan ke level terendah MYR2.600 per ton pada tahun 2026.
Riset tersebut memperkirakan, harga minyak nabati turun sebesar 23,1% secara tahunan (yoy) menjadi MYR4.000 per ton pada tahun depan.
Hal tersebut, kata Fitch Solutions, karena seiring semakin redanya sentimen konflik Rusia-Ukraina dan larangan ekspor minyak sawit Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(trp/trp) Next Article IHSG Balas Dendam, tapi Apa Kuat ke 7.000 Lagi?