Alamak! Aksi Putin Bikin Eropa "Kiamat" Mata Uang!

Market - Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 September 2022 18:47
FILE PHOTO: A two Euro coin is pictured next to an English ten Pound note in an illustration taken March 16, 2016.  REUTERS/Phil Noble/Illustration/File Photo/File Photo Foto: Dua koin Euro digambarkan di sebelah not Pound Inggris sepuluh dalam ilustrasi yang diambil 16 Maret 2016. REUTERS / Phil Noble / Illustration / File Photo / File Photo

Jakarta, CNBC Indonesia - Rusia kembali membuat gejolak di Eropa, langkahnya menghentikan pasokan gas membuat nilai tukar euro terpuruk. Euro merosot mendekati rekor terlemah semenjak mata uang 19 negara tersebut diluncurkan.

Mata uang euro secara resmi mulai digunakan dalam bentuk giral pada 1 Januari 1999. Sejak peluncurannya tersebut, nilai euro menurun dan menyentuh level terlemah US$ 0,8225 pada 26 Oktober 2000. Namun, sejak awal 2003, euro sebenarnya tidak pernah berada di bawah level paritas (EUR 1 = US$ 1).

Pada perdagangan Senin (5/9/2022), euro sempat menyentuh US$ 0,9875, merosot 0,76% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Level tersebut merupakan yang terlemah sejak Desember 2002. Sepanjang tahun ini euro sudah jeblok sekitar 13% melawan dolar Amerika Serikat (AS).

Artinya mata uang 19 negara ini semakin dekat dengan rekor terlemah sepanjang sejarah. Sementara melawan rupiah, euro berada di kisaran Rp 14.769/EUR, pelemahannya sepanjang tahun ini sekitar 9%.

Rusia sejatinya akan kembali memasok gas ke Eropa melalui jaringan gas Nord Stream 1 pada Sabtu (3/9/2022) setelah menjalani perawatan sejak 31 Agustus.

Namun, perusahaan gas Gazprom mengatakan bahwa mereka tidak bisa beroperasi sesuai jadwal, dan akan terhenti hingga waktu yang belum ditentukan.

"Penyaluran gas melalui Nord Stream 1 akan dihentikan sepenuhnya sampai permasalahan terkait peralatan (turbin) terselesaikan," tulis Gazprom, seperti dikutip dari CNBC International.

Meski disebutkan sedang ada masalah turbin, tetapi banyak yang melihat penundaan tersebut sebagai langkah Presiden Vladimir Putin untuk menekan Eropa.

Jaringan Nord Stream 1 berkontribusi sekitar 35% gas di Benua Biru. Jaringan tersebut sebenarnya sudah membatasi kapasitas penyaluran hingga hanya 20% sejak Juni.

Dihentikannya penyaluran gas melalui Nord Stream 1 akan menghambat upaya negara-negara Eropa dalam mengisi kapasitas gas sebagai pasokan musim dingin. Dengan terus dihentikannya pasokan gas, harga energi menjadi meroket. Alhasil, inflasi meroket di Benua Biru akan terus tinggi.

Kurs euro pun jeblok, dan bisa memperparah inflasi. Tekanan bagi euro semakin besar sebab bank sentral AS (The Fed) sangat agresif dalam menaikkan suku bunga, membuat dolar AS perkasa. Apalagi setelah rilis data tenaga kerja Amerika Serikat.

Departemen Tenaga Kerja AS Jumat pekan lalu melaporkan sepanjang bulan Agustus, perekonomian AS dilaporkan mampu menyerap tenaga kerja di luar sektor pertanian (non-farm payrolls/NFP) sebesar 315.000 orang, sedikit di bawah estimasi Dow Jones 318.000 orang.

Meski demikian, data tersebut sudah cukup menunjukkan jika pasar tenaga kerja AS masih kuat meski The Fed sudah 4 kali menaikkan suku bunga dengan total 225 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%.

Tingkat pengangguran dilaporkan naik menjadi 3,7% sementara rata-rata upah naik 0,3% month-on-month dan 5,2% year-on-year.

Data tenaga kerja bulan Agustus menjadi penting, sebab akan menjadi pertimbangan bank sentral AS (The Fed) sebelum kembali menaikkan suku bunga bulan ini.

Data ini akan membantu The Fed untuk memutuskan apakah kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, atau lebih tinggi, dan apakah itu lebih tepat ketimbang 50 basis poin.

Sebelumnya ketua The Fed, Jerome Powell, yang mengatakan akan terus menaikkan suku bunga dan menahannya di level tinggi sampai inflasi mencapai 2%.

The Fed tidak hanya agresif dalam menaikkan suku bunga, tetapi juga mengurangi nilai neracanya (balance sheet) atau yang disebut quantitative tightening (QT).

Saat pandemi Covid-19 melanda, The Fed menerapkan program pembelian surat berharga (quantitative easing/QE) yang membuat balance sheet The Fed naik tajam, nyaris mencapai US$ 9 triliun, dibandingkan sebelum pandemi sekitar US$ 4,1 triliun.

Artinya, The Fed menyuntikkan likuiditas sekitar US$ 4,8 miliar sejak awal pandemi.

Kini dengan dimulainya normalisasi kebijakan, The Fed menerapkan QT atau pengurangan nilai neraca artinya The Fed menjual surat berharga yang dimiliki, sehingga menyerap likuiditas di perekonomian.

Nilai balance sheet The Fed pun mulai menurun, menjadi sekitar US$ 8,85 triliun pada 22 Agustus lalu.

Di bulan ini, The Fed meningkatkan nilai QT dari sebelumnya US$ 45 miliar per bulan, menjadi US$ 95 miliar per bulan, yang artinya likuiditas di perekonomian semakin besar diserap, dolar AS pun kuat.

Alhasil, jika kurs euro semakin jeblok maka inflasi bisa semakin tinggi, maka Benua Biru terancam mengalami resesi.

TIM RISET CNBC INDONESIA 

Artikel Selanjutnya

Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer


(pap/pap)

ADVERTISEMENT

ADVERTISEMENT

Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading