BI Ramal Rupiah Rp 15.200/US$ di 2023, Yakin Tak Lebih Lemah?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 September 2022 17:30
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS)
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan besar dari eksternal membuat rupiah melemah di tahun ini, meski tidak seburuk mata uang Asia lainnya. Sepanjang 2022, pelemahan rupiah tercatat sekitar 4% dan berada di kisaran Rp 14.895/US$.

Di tahun depan depan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memperkirakan rupiah pada 2023 akan melemah dibandingkan dengan posisi tahun ini, seiring dengan masih tingginya ketidakpastian dari perekonomian global.

Tahun ini, kurs diperkirakan pada level Rp 14.500 - 14.900/US$. Sementara 2023, kurs Rp 14.800 - 15.200/US$.

"Proyeksi rupiah Rp 14.800 - 15.200 per dolar AS," ungkap Perry dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran DPR, Selasa (30/8/2022).

Namun, dengan kondisi perekonomian saat ini bukan tidak mungkin rupiah bisa lebih lemah lagi. Tekanan paling besar tentunya datang dari Amerika Serikat, di mana bank sentralnya (The Fed) sangat agresif dalam menaikkan suku bunga.

Ketua The Fed, Jerome Powell menegaskan komitmennya untuk membawa inflasi turun ke 2% dengan terus menaikkan suku bunga, meski perekonomian mengalami resesi taruhannya.

"Menurunkan inflasi perlu periode pertumbuhan ekonomi di bawah tren yang berkelanjutan. Dengan suku bunga tinggi, pertumbuhan ekonomi yang melambat, dan pasar tenaga kerja yang melemah akan membawa inflasi turun. Itu adalah harga yang harus kita bayarkan untuk mengurangi inflasi. Tetapi, kegagalan untuk memulihkan stabilitas harga akan menimbulkan penderitaan yang lebih besar," kata Powell dalam acara simposium Jackson Hole, Jumat (26/8/2022).

Sementara itu, Presiden The Fed wilayah Cleveland, Loretta Mester pada hari Rabu mengatakan ia melihat suku bunga bisa naik ke atas 4% di awal tahun depan.

Suku bunga The Fed saat ini di 2,25% - 2,5%, dengan 3 kali rapat kebijakan moneter di tahun ini, kemungkinan kenaikan 75 basis poin di bulan ini sangat mungkin terjadi.

"Pandangan saya saat ini, diperlukan suku bunga naik di atas 4% awal tahun depan dan bertahan di level tersebut. Saya juga tidak melihat The Fed akan memangkas suku bunga pada tahun depan," kata Mester sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (31/8/2022).

Dengan kenaikan tersebut, Mester melihat pertubuhan ekonomi akan turun, jauh di bawah 2%, sementara tingkat pengangguran akan mengalami kenaikan. Inflasi di tahun ini diperkirakan sebesar 5% - 6% dan mendekati target The Fed 2% dalam beberapa tahun ke depan.

Pasar finansial juga diperkirakan akan tetap volatil. Hal tersebut tentunya lebih menguntungkan bagi dolar AS yang menyandang status safe haven.


HALAMAN SELANJUTNYA >>> RI Bisa Tak Dapat "Durian Runtuh"

Salah satu penyebab cukup kuatnya rupiah di tahun ini yakni tingginya harga komoditas. Indonesia mendapat "durian runtuh", neraca perdagangan mampu mencetak surplus 27 bulan beruntun.

Alhasil transaksi berjalan pun surplus, yang membuat pasokan valuta asing mengalir deras ke Indonesia.

Namun, di tahun depan pesta "durian runtuh" diperkirakan akan berakhir. Deputi Kepala BPS Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Setianto mewanti-wanti sudah ada gejala harga komoditas di pasar internasional mulai turun.

Pada Juli 2022, indeks harga komoditas energi ada di 168,58. Sementara indeks harga komoditas makanan adalah 138,63, terendah sejak serangan Rusia ke Ukraina yang dimulai Februari lalu.

"Memang hingga Juli harga global menurun baik pangan dan energi. Ini perlu diwaspadai, barangkali jadi perhatian kita sebagai tanda berakhirnyawindfallharga komoditas," kata Setianto dalam konferensi pers pertengahan Agustus lalu.

Padahal, lanjut Setianto, kinerja ekspor Indonesia yang terus tumbuh lebih ditopang oleh kenaikan harga komoditas. Menurut volume, ekspor cenderung stagnan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Gubernur Perry juga mengatakan hal yang sama.

"Ini (harga komoditas) tidak akan berulang atau setinggi ini tahun depan," ungkap Sri Mulyani, dalam konferensi pers usai rapat kabinet, Senin (8/8/2022).

Sementara itu Perry memberikan indikasi yang sama saat rapat kerja dengan Komisi XI DPR, Rabu (31/8/2022)

"Yang perlu dicermati tahun depan, perekonomian dunia turun dan daya dukung ekspor tak akan sekuat 2 tahun terakhir termasuk tahun ini," ujarnya.

Artinya, jika harga komoditas akhirnya menurun, maka ada risiko neraca perdagangan dan transaksi berjalan tidak akan surplus lagi. Pasokan devisa valuta asing berisiko seret, daya tahan rupiah akan lebih lemah.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Waspada Kenaikan Harga BBM

Kenaikan harga BBM subsidi juga menjadi perhatian. Sebab, jika melihat ke belakang, rupiah selalu menjadi korban kenaikan harga BBM subsidi.

Sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) hingga Joko Widodo (Jokowi),BBM subsidi dinaikkan sebanyak 5 kali. SBY menaikkan sebanyak 4 kali, sementara Jokowi sekali di 2014 saat pertama kali menjabat sebagai RI 1.

Pada 2005 lalu, SBY menaikkan BBM subsidi sebanyak dua kali, pada Maret sebesar 29% dan pada Oktober sebesar 114%.

Kemudian pada Mei 2008, pemerintah kembali menaikkan BBM sebesar 28% pada Mei 2008. Sebelum selesai menjabat dua periode, SBY juga menaikkan BBM sebesar 30% pada Juni 2013.

Jokowi yang mulai menjabat menjadi presiden sejak Oktober 2014 langsung menggebrak dengan menaikkan BBM sebesar 34%.

Di akhir Oktober 2014, sebelum kenaikan BBM Premium, rupiah berada di kisaran Rp 12.080/US$ kemudian terus melemah hingga menyentuh Rp 12.930/US$ pada pertengahan Desember. Pelemahannya tercatat lebih dari 7% dalam satu setengah bulan.

Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% year-on-year (yoy). Rupiah pun terus mengalami pelemahan hingga menembus ke atas Rp 10.000/US$. Pelemahan rupiah diperparah dengan isu tapering The Fed.

Pada 2008, BBM dinaikkan Mei, tidak lama berselang rupiah melemah sekitar 1,7%. Sementara di 2005 saat dua kali kenaikan, rupiah merespon berbeda. Kenaikan pertam direspon dengan merosot 5,9%, sementara yang kedua malah menguat 6,5%.

Jika dilihat sepanjang tahun, setiap terjadi kenaikan BBM rupiah selalu tercatat melemah. Pada 2005 pelemahannya sekitar 6%, dan 2008 sebesar 15,5%, itu juga karena faktor krisis finansial global.

2013 lebih parah lagi, rupiah jeblok lebih dari 26%, sekali lagi karena ada isu tapering The Fed. Terakhir 2014, pelemahan rupiah tipis 1,8%, tetapi karena BBM baru dinaikkan pada bulan November. Pelemahan rupiah berlanjut hingga 2015, tercatat sekitar 11%.

Memang ada faktor lain yang mempengaruhi jebloknya selain kenaikan harga BBM. Seperti krisis finansial global 2008 dan taper tantrum sejak 2013 hingga 2015. Nah, di tahun depan juga ada risiko besar seperti yang disebutkan sebelumnya, mulai dari kenaikan suku bunga The Fed yang agresif, hingga risiko resesi dunia yang tentunya bisa menekan rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular