
Bank Sentral Rusia-China Babat Suku Bunga, BI Bisa Ikutan?

Inflasi yang terjaga dan nilai tukar rupiah yang masih stabil menjadi alasan BI masih mempertahankan suku bunga acuannya 3,5% hingga saat ini.
Meski demikian, ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga tampaknya sudah tertutup. Dengan kondisi saat ini, jika suku bunga dipangkas, inflasi berisiko semakin tinggi, yang pada akhirnya berdampak buruk bagi perekonomian.
Badan Pusat Statistik (BPS) di awal bulan ini mengumumkan data inflasi Indonesia periode Juli 2022 tumbuh 0,64% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm).Lebih tinggi dibandingkan Juni 2022 yang sebesar 0,61%.
Secara tahunan (year-on-year/yoy), laju inflasi terakselerasi. Inflasi Juli 2022 tercatat 4,94% (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang 4,35% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Oktober 2015.
Inflasi inti juga tercatat naik menjadi 2,68% (yoy) lebih tinggi dari sebelumnya 2,63% (yoy).
Ketika suku bunga diturunkan, maka likuiditas perekonomian akan bertambah yang bisa memicu kenaikan inflasi. Belum lagi selisih suku bunga dengan The Fed akan semakin menyempit, begitu juga dengan imbal hasil (yield) obligasi yang bisa membuat rupiah terpuruk.
Belum lagi dengan rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Pertalite, yang akan semakin memberikan tekanan ke BI untuk menaikkan suku bunga.
Ekonom Bank Danamon Irman Faiz mengatakan kenaikan suku bunga BI akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah terkait energi. Jika pemerintah menaikkan harga Pertalite maka hal tersebut bisa mengubah arah kebijakan BI.
"Kemungkinan bulan depan BI baru menyesuaikan jika inflasi inti naik di atas 3% atau Pertalite jadi dinaikkan oleh pemerintah," ujarnya.
Kenaikan Pertalite bisa berdampak buruk bagi inflasi dan rupiah hingga pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 2014 lalu misalnya, saat harga BBM dinaikkan pada bulan November rupiah terus mengalami pelemahan. Pemerintah saat itu menaikkan harga BBM sebesar 30% yang memicu kenaikan inflasi sebesar 8,36% (yoy).
Di akhir Oktober 2014, rupiah berada di kisaran Rp 12.080/US$ kemudian terus melemah hingga menyentuh Rp 12.930/US$ pada pertengahan Agustus. Pelemahannya tercatat lebih dari 7% dalam satu setengah bulan.
Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% (yoy). Rupiah pun terus mengalami pelemahan hingga menembus ke atas Rp 10.000/US$. Pelemahan rupiah diperparah dengan isu tapering oleh bank sentral AS (The Fed).
Tidak hanya rupiah, inflasi yang tinggi juga bisa berdampak buruk ke perkonomian. Daya beli masyarakat bisa tergerus. Sedangkan, konsumsi rumah tangga merupakan kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi, yakni sekitar 54%.
Keniakan inflasi pada 2014 memicu pelambatan ekonomi. Di kuartal II-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94%year-on-year(YoY). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, PDB Indonesia mayoritas di bawah 5%.
Berkaca dari hal tersebut, opsi pemangkasan suku bunga oleh BI sudah tertutup.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]
