
Bank Sentral Rusia-China Babat Suku Bunga, BI Bisa Ikutan?

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada Selasa (23/8/2022) siang nanti. Jika melihat kebijakan yang diambil bank sentral di dunia, mayoritas saat ini menaikkan suku bunga guna meredam inflasi, dan ada beberapa yang justru memangkasnya guna memacu pertumbuhan ekonomi.
BI sejauh ini masih berada di tengah, menahan suku bunga guna mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi, begitu juga menjaga inflasi tidak terlalu tinggi.
Bank sentral Amerika Serikat (AS) dan negara Barat lainnya, menjadi yang agresif menaikkan suku bunga. Beberapa bank sentral negara maju, seperti Australia juga melakukan hal yang sama.
Di sisi sebaliknya, ada bank sentral Rusia, China dan Turki yang justru memangkas suku bunganya.
Bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR) dan bank sentral China (People's Bank of China/PBoC) memangkas suku bunga guna memacu perekonomian. CBR sebenarnya bermanuver di tahun ini, ketika Barat memberikan sanksi ke Rusia akibat perang dengan Ukraina, suku bunga langsung dikerek naik dari 9,5% menjadi 20%. Sebabnya, nilai tukar rubel yang jeblok ke rekor terlemah sepanjang sejarah melawan dolar AS, dan inflasi yang meroket.
Langkah cepat CBR dan kebijakan capital control Presiden Vladimir Putin serta surplus transaksi berjalan yang mencetak rekor membuat rubel berbalik menguat ke bawah RUB 60/US$, yang merupakan level terkuat dalam 7 tahun terakhir, dan menjadi mata uang terbaik di dunia.
Penguatan tajam rubel membuat inflasi terkendali, dan CBR mulai memangkas suku bunganya guna memacu perekonomian. Pada Juli lalu, bank sentral pimpinan Elvira Nabiullina ini memangkas suku bunga sebesar 150 basis poin menjadi 8%, lebih rendah ketimbang sebelum perang terjadi.
Sementara itu PBoC, Senin kemarin juga memangkas suku bunganya guna memacu pertumbuhan ekonomi yang menunjukkan tanda-tanda pelambatan akibat kebijakan lockdown yang masih diterapkan.
PBoC memangkas suku bunga acuannya loan prime rate (LPR) tenor 1 tahun menjadi 2,65% dari sebelumnya 3,7%. Sementara LPR tenor 5 tahun dipangkas menjadi 4,3% dari sebelumnya 4,45%.
Pada pekan lalu, PBoC juga memangkas suku bunga medium term lending facility (MLF) tenor 1 tahun sebesar 10 basis poin untuk beberapa institusi finansial.
Sementara itu bank sentral Turki (Central Bank of Republic Turkey/CBRT) sedkit berbeda. Dengan inflasi yang nyaris menembus 80%, CBRT justru dipangkas sebesar 100 basis poin menjadi 13% pada pekan lalu.
Lazimnya, ketika inflasi tinggi bank sentral akan menaikkan suku bunga, tetapi CBRT kebalikannya.
Kebijakan tersebut bermula dari pandangan Presiden Recep Tayyip Erdogan jika suku bunga tinggi merupakan "biangnya setan". Erdogan mempercayai suku bunga tinggi malah akan memperburuk inflasi.
Banyak yang menyebut CBRT tidak punya independensi. Erdogan terus mengintruksikan suku bunga untuk dipangkas sejak tahun 2020 lalu. Gubernur CBRT yang tidak mengikuti instruksinya akan langsung dicopot.
"Jelas CBRT mendapat instruksi dari Presiden Erdogan, yang memiliki pandangan tidak lazim mengenai dasar "model ekonomi baru" dengan suku bunga rendah," kata Jason Tuvey, ekonom emerging market senior di Capital Economics di London.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Bisa Ikutan?
Inflasi yang terjaga dan nilai tukar rupiah yang masih stabil menjadi alasan BI masih mempertahankan suku bunga acuannya 3,5% hingga saat ini.
Meski demikian, ruang bagi BI untuk menurunkan suku bunga tampaknya sudah tertutup. Dengan kondisi saat ini, jika suku bunga dipangkas, inflasi berisiko semakin tinggi, yang pada akhirnya berdampak buruk bagi perekonomian.
Badan Pusat Statistik (BPS) di awal bulan ini mengumumkan data inflasi Indonesia periode Juli 2022 tumbuh 0,64% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm).Lebih tinggi dibandingkan Juni 2022 yang sebesar 0,61%.
Secara tahunan (year-on-year/yoy), laju inflasi terakselerasi. Inflasi Juli 2022 tercatat 4,94% (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang 4,35% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Oktober 2015.
Inflasi inti juga tercatat naik menjadi 2,68% (yoy) lebih tinggi dari sebelumnya 2,63% (yoy).
Ketika suku bunga diturunkan, maka likuiditas perekonomian akan bertambah yang bisa memicu kenaikan inflasi. Belum lagi selisih suku bunga dengan The Fed akan semakin menyempit, begitu juga dengan imbal hasil (yield) obligasi yang bisa membuat rupiah terpuruk.
Belum lagi dengan rencana pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) Pertalite, yang akan semakin memberikan tekanan ke BI untuk menaikkan suku bunga.
Ekonom Bank Danamon Irman Faiz mengatakan kenaikan suku bunga BI akan sangat ditentukan oleh kebijakan pemerintah terkait energi. Jika pemerintah menaikkan harga Pertalite maka hal tersebut bisa mengubah arah kebijakan BI.
"Kemungkinan bulan depan BI baru menyesuaikan jika inflasi inti naik di atas 3% atau Pertalite jadi dinaikkan oleh pemerintah," ujarnya.
Kenaikan Pertalite bisa berdampak buruk bagi inflasi dan rupiah hingga pertumbuhan ekonomi.
Pada tahun 2014 lalu misalnya, saat harga BBM dinaikkan pada bulan November rupiah terus mengalami pelemahan. Pemerintah saat itu menaikkan harga BBM sebesar 30% yang memicu kenaikan inflasi sebesar 8,36% (yoy).
Di akhir Oktober 2014, rupiah berada di kisaran Rp 12.080/US$ kemudian terus melemah hingga menyentuh Rp 12.930/US$ pada pertengahan Agustus. Pelemahannya tercatat lebih dari 7% dalam satu setengah bulan.
Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% (yoy). Rupiah pun terus mengalami pelemahan hingga menembus ke atas Rp 10.000/US$. Pelemahan rupiah diperparah dengan isu tapering oleh bank sentral AS (The Fed).
Tidak hanya rupiah, inflasi yang tinggi juga bisa berdampak buruk ke perkonomian. Daya beli masyarakat bisa tergerus. Sedangkan, konsumsi rumah tangga merupakan kontributor terbesar pertumbuhan ekonomi, yakni sekitar 54%.
Keniakan inflasi pada 2014 memicu pelambatan ekonomi. Di kuartal II-2014, produk domestik bruto (PDB) Indonesia tumbuh 4,94%year-on-year(YoY). Untuk pertama kalinya sejak kuartal III-2009, Indonesia mencatat pertumbuhan ekonomi di bawah 5%. Setelahnya, PDB Indonesia mayoritas di bawah 5%.
Berkaca dari hal tersebut, opsi pemangkasan suku bunga oleh BI sudah tertutup.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Bank Sentral Rusia Diprediksi Pangkas Lagi Suku Bunga
