Ketika Gojek & Grab Masuk Dalam Komponen Inflasi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
16 August 2022 15:35
Warga antre untuk mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite
Foto: Warga antre untuk mendapatkan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite di Jakarta, Senin (15/8/2022). Beberapa hari terakhir pengendara motor dan mobil harus mengantri cukup panjang untuk membeli Pertalite di SPBU Pertamina.  (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Inflasi sedang menjadi masalah di banyak negara. Indonesia masih termasuk yang sedikit beruntung. Sebab, meski inflasi sedang dalam tren naik, tetapi masih bisa dikatakan terkendali. Berbeda dengan negara-negara Barat yang inflasinya melesat ke level tertinggi dalam beberapa dekade.

Badan Pusat Statistik (BPS) di awal bulan ini mengumumkan data inflasi Indonesia periode Juli 2022 yang tumbuh 0,64% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm).Lebih tinggi dibandingkan Juni 2022 yang sebesar 0,61%.

Secara tahunan (year-on-year/yoy), laju inflasi terakselerasi. Inflasi Juli 2022 tercatat 4,94% (yoy), lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang 4,35% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Oktober 2015. Inflasi inti juga tercatat naik menjadi 2,68% (yoy) lebih tinggi dari sebelumnya 2,63% (yoy).

Meski masih cukup terkendali, tetapi tidak menutup kemungkinan inflasi akan semakin meninggi dengan rencana kenaikan harga beberapa barang dan jasa. Dari sisi administered price, rencana kenaikan harga Pertalite yang paling menjadi perhatian.

Sinyal kenaikan harga Pertalite memang semakin kuat. Pada Senin (15/8/2022), Sekretaris Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menjelaskan, subsidi energi yang mencapai Rp 502 triliun di tahun ini yang sudah digelontorkan sudah terlalu besar. Jika ditambah lagi tentu akan membuat APBN menjadi tekor.

"Sekarang pemerintah sedang menjajaki opsi-opsi kalau APBN-nya cukup berat," tegasnya.

Opsi penambahan subsidi energi menurut Susiwijono adalah hal yang tidak mungkin dilakukan, mengingat tahun depan APBN sudah harus kembali defisit di bawah 3%. Oleh karena itu, opsi yang paling memungkinkan adalah dengan menaikkan harga energi di dalam negeri, salah satunya harga BBM Pertalite.

"Supaya gap tidak terlalu tinggi antara harga jualnya, dengan harga keekonomian kan tinggi sekali tuh, dari Rp 7.000 dengan Rp 17.000 (per liter). Solar dari Rp 5.000 dengan Rp 18.000, kan jauh. Kita sedang menghitung apakah perlu opsi kenaikan harga. Kemarin Bu Menkeu (Sri Mulyani Indrawati) sudah menyampaikan," jelas Susiwijono.

Kenaikan harga BBM, apalagi yang banyak dikonsumsi masyarakat bisa memicu kenaikan inflasi yang tajam. Bobot BBM ke inflasi berbeda-beda tergantung tingkat konsumsinya. Bobot Pertamax Turbo sebesar 0,02%. Sementara itu, bobot Pertalite ke IHK mencapai 2,03% dan Pertamax 0,44%.

Pada April 2022, Pertamina juga sudah menaikkan harga Pertamax dari Rp 9.000 per liter, naik menjadi Rp 12.500-13.000 per liter.Inflasi pada bulan tersebut menyentuh 0,95% (mtm), rekor tertinggi dalam lima tahun lebih.

Jika Pertalite yang paling banyak dikonsumsi masyarakat pada akhirnya dinaikkan, maka inflasi tentunya akan lebih besar.

Pada tahun 2014 lalu misalnya, saat harga BBM jenis Premiun yang saat itu paling banyak dikonsumsi, dinaikkan pada bulan November sebesar 30%. Inflasi kemudian melesat inflasi sebesar 8,36% (yoy).

Hal yang sama juga terjadi setahun sebelumnya. Pemerintah menaikkan harga BBM di bulan Juni 2013 yang memicu kenaikan inflasi hingga 8,38% (yoy).

HALAMAN SELANJUTNYA >> LPG 3 Kg, Listrik, dan Tarif Ojol Juga Bakal Naik!

Tidak harga Pertalite, kenaikan juga akan terjadi pada jenis Liquefied Petroleum Gas (LPG) 3 kg dan tarif listrik.

Hal ini diungkapkan oleh Ketua Badan Anggaran Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Said Abdullah kepada CNBC Indonesia, Senin (15/8/2022).

"Sesegera mungkin Pemerintah menaikkan harga pertalite, LPG 3 Kg, dan Listrik bersubsidi karena kalau tidak disegerakan akan makin menggerus kuota pasokan energi subsidi. Apalagi terjadi gap harga yang jauh antara Pertalite dengan Pertamax," jelasnya.

Jika kenaikan dilakukan secara serentak, tentunya inflasi akan meroket. Sehingga kenaikan kemungkinan akan dilakukan secara bertahap.

Said tidak menyebut jadwal pasti kenaikan harga, ia juga menyarankan agar kenaikan tidak dilakukan secara drastis, namun bertahap per 3 bulan. Sehingga masyarakat tidak mengalami tekanan berat.

"Naikkan saja bertahap per 3 bulanan," kata Said.

Selain itu inflasi juga bisa terjadi dari kenaikan tarif ojek online (ojol). Tarif ojol seharusnya dinaikkan pada 14 Agustus lalu, tetapi ditunda.

Hal ini dikarenakan aturan mengenai penyesuaian tarif tersebut masih disosialisasikan kepada stakeholders.

Juru Bicara Kementerian Perhubungan Adita Irawati mengatakan, pemberlakuan aturan tarif ojol yang baru ini kemungkinan mundur dari tanggal yang telah ditetapkan sebelumnya, karena masih perlu disosialisasikan.

Kini, penerapan tarif baru ojek online dilakukan per tanggal 29 Agustus 2022 atau 25 hari kalender sejak aturan KM 564 ditetapkan per tanggal 4 Agustus kemarin.

"Pemberlakuan efektif aturan ini ditambah menjadi paling lambat 25 hari kalender," ujar Direktur Jenderal Perhubungan Darat, Hendro Sugiatno dalam keterangannya, Minggu (14/8/2022).

Hendro menjelaskan pihaknya baru saja melakukan peninjauan kembali terhadap waktu penerapan aturan tarif ojol ini. Hasilnya, butuh waktu lebih lama untuk melakukan sosialisasi sebelum KM 564 bisa diterapkan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Tekanan Harga Pangan Mereda?

Kenaikan harga pangan menjadi salah satu penyumbang inflasi terbesar. Namun, ada sedikit kabar baik.

Menurut laporan Departemen Pertanian Amerika Serikat, produksi tanaman pangan dunia diperkirakan akan naik produksinya. Salah satunya karena faktor cuaca yang lebih bersahabat untuk panen.

Produksi yang naik termasuk gandum, biji-bijian kasar, dan beras. Hal ini tentunya akan mempengaruhi harga pangan dunia yang saat ini semakin murah.
Indeks Harga Pangan FAO (FFPI) rata-rata 140,9 poin pada Juli 2022, turun 13,3 poin atau 8,6% dari Juni, menandai penurunan harga bulanan selama keempat berturut-turut.

Sebelumnya, harga pangan dunia melejit karena turunnya produksi pangan dunia akibat kekeringan dan konflik antara Rusia dan Ukraina. Dampaknya adalah inflasi yang meningkat.

Namun, lebih parah adalah munculnya tren proteksionisme pangan yang membuat perdagangan dan stok pangan antar negara menipis. Akibatnya risiko kelaparan juga turut meningkat.

Dari dalam negeri, mayoritas harga pangan memang sudah mengalami penurunan.

Mayoritas harga bahan pangan mulai menurun memasuki pekan pertama Agustus. Penurunan tajam terjadi pada harga bawang merah dan cabai merah.

Berdasarkan Pusat Informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN), harga cabai rawit merah dijual Rp 66.350 per kg pada Selasa (16/8/2022), turun 6,6% dalam sepekan terakhir. Kemudian cabai merah keriting dan cabai merah besar juga mengalami penurunan masing-masing 7,3% dan 5,8% menjadi Rp 63.150 per kg dan Rp 63.500 per kg.

Bawang merah ukuran sedang juga mengalami penurunan lebih dari 7% menjadi Rp 42.550 per kg.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular