Sudah 2 Hari Rupiah Tak Berdaya di Eropa, Perlu Booster Apa?
Jakarta, CNBC Indonesia - Kurs rupiah terkoreksi terhadap ketiga mata uang utama di Benua Biru yakni euro, poundsterling dan dolar franc swiss pada perdagangan Kamis (4/8/2022). Artinya, Mata Uang Garuda telah terkoreksi selama dua hari beruntun.
Melansir Refinitiv, pukul 11:30 WIB, euro menguat terhadap rupiah 0,12 % ke 15.171,87/EUR dan poundsterling terapresiasi terhadap rupiah sebanyak 0,18% ke Rp 18.139,95/GBP.
Sedangkan, dolar franc swiss yang termasuk mata uang safe haven, menguat terhadap rupiah sebanyak 0,11% ke Rp 15.534,28/CHF.
Jajak pendapat analis Reuters memprediksikan bahwa Bank of England (BOE) akan menaikkan suku bunga acuannya sebesar 50 basis poin (bps) pada hari ini dan akan menjadi yang terbesar sejak 1995, meskipun risiko resesi meningkat.
Saat ini, suku bunga acuan BOE berada di 1,25%, dan jika BOE menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 50 bps maka tingkat suku bunga berada di 1,75% dan menjadi level tertinggi sejak akhir 2008. Hal tersebut menjadi upaya BOE untuk meredam inflasi yang telah mencapai rekor ke 9,4%.
Bahkan lembaga Think-Tank Resolution Foundation memperkirakan inflasi akan menyentuh 15% pada awal 2023 karena kombinasi dampak perang Rusia-Ukraina dan pemulihan ekonomi yang belum selesai setelah pandemi.
BOE juga akan memberikan rincian lebih lanjut tentang bagaimana rencananya untuk mulai menjual kepemilikan obligasi pemerintah yang diperolehnya selama lebih dari satu dekade untuk stimulus ekonomi.
Bulan lalu, Ketua BOE Andrew Bailey sempat mengatakan akan mengurangi 50 hingga 100 miliar pound (US$ 61-122 miliar) kepemilikan emasnya selama setahun.
Di zona Eropa, aktivitas bisnis sedikit mengalami kontraksi pada Juli untuk pertama kalinya sejak awal 2021 karena konsumsi mengekang pengeluaran di tengah krisis biaya hidup.
Purchasing Managers' Index (PMI) dari S&P Global yang sering dijadikan acuan untuk mengukur kesehatan ekonomi, turun ke level terendah 17 bulan di 49,9 pada Juli dari 52 di Juni.
Angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi sedangkan angka di atas 50 menunjukkan ekspansi.
"Inflasi yang melonjak, kenaikan suku bunga dan kekhawatiran pasokan terutama energi telah menyebabkan penurunan terbesar dalam output dan permintaan yang terlihat selama hampir satu dekade (yang tidak termasuk bulan penguncian pandemi)," kata Kepala Analis S&P 500 Chris Williamson.
Indeks bisnis baru juga turun menjadi 47,6 dari 50 dan menjadi yang terendah sejak November 2020. Sedangkan PMI yang termasuk industri jasa turun menjadi 51,2 di Juli dari 53 di Juni.
Meski ketiga mata uang di Eropa berhasil melibas rupiah, tapi sejatinya katalis negatif masih membayangi kawasan Benua Biru.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aaf/vap)