Sementara nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) menguat 1,23% pekan ini. Rupiah mantap meninggalkan level Rp 15.000/US$.
Yang lalu, biarlah berlalu. Sekarang saatnya kita menatap masa depan.
Kira-kira bagaimana nasib pasar keuangan Indonesia pekan depan? Apa saja hal-hal yang mesti diperhatikan oleh pelaku pasar?
Dari dalam negeri, pekan depan ada cukup banyak rilis data yang perlu dicermati. Pada awal pekan, 1 Agustus 2022, ada dua rilis data penting yaitu inflasi dan aktivitas manufaktur.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi periode Juli 2022 sebesar 0,53% secara bulanan (month-to-month/mtm). Melambat dibandingkan Juni 2022 yang 0,61%.
Namun secara tahunan (year-on-year/yoy), laju inflasi semakin cepat. Pada Juli 2022, inflasi tahunan diperkirakan mencapai 4,89%. Jika terwujud, maka akan menjadi yang tertinggi sejak November 2015.
Laju inflasi yang semakin cepat ini perlu diwaspadai. Sebab, inflasi menjadi salah satu pertimbangan bagi Bank Indonesia (BI) untuk menentukan suku bunga acuan.
Apabila inflasi semakin tinggi, apalagi inflasi inti, maka BI tidak akan segan untuk menaikkan suku bunga acuan seperti bank sentral di berbagai negara. Ketika rezim suku bunga rendah resmi berakhir, maka akan ada risiko pertumbuhan ekonomi bakal melambat.
Rilis data berikutnya adalah aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI). Trading Economics memperkirakan PMI manufaktur Indonesia periode Juli 2022 sebesar 50,4, naik tipis dibandingkan bulan sebelumnya yang 50,2.
Jika terwujud, maka ini akan menjadi kabar gembira. Sebab di negara lain, seperti China, PMI malah menurun.
Pada Juli 2022, PMI manufaktur China berada di 49. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 50,2 sekaligus jadi yang terendah dalam tiga bulan terakhir.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Kalau di bawah 50, artinya dunia usaha sedang dalam fase kontraksi.
Halaman Selanjutnya --> Ekonomi Indonesia Kuat!
Masih dari dalam negeri, jelang akhir pekan depan yaitu pada 5 Agustus 2022 akan dirilis dua data yang sangat penting. Pertama adalah cadangan devisa.
Menurut perkiraan Trading Economics, cadangan devisa Indonesia per akhir Juli 2022 sebesar US$ 135,6 miliar. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang US$ 136,4 miliar.
Data cadangan devisa menjadi penting karena bisa menentukan nasib rupiah. Cadangan devisa yang tebal membuat BI punya 'peluru' untuk stabilisasi nilai tukar rupiah.
Kedua, masih pada 5 Agustus, Badan Pusat Statistik (BPS) akan merilis data pertumbuhan ekonomi kuartal II-2022. Konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia tumbuh 5,13% yoy. Lebih tinggi ketimbang kuartal sebelumnya yang tumbuh 5,01% yoy.
Momentum Ramadan-Idul Fitri menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia. Apalagi tahun ini sudah lebih longgar, mudik sudah diperbolehkan sehingga aktivitas ekonomi bergeliat hingga ke pelosok daerah.
Ekonomi Indonesia yang tumbuh positif tentu menjadi kabar gembira. Ingat, tidak sedikit negara yang mencatatkan pertumbuhan ekonomi negatif alias kontraksi.
Misalnya Amerika Serikat (AS). US Bureau of Economic Analysis melaporkan pembacaan awal terhadap ekonomi Negeri Paman Sam menunjukkan adanya kontraksi alias pertumbuhan negatif negatif 0,9% pada kuartal II-2022 dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter-to-quarter/qtq). Pada kuartal I-2022, PDB AS juga terkontraksi 1,6% qtq.
Saat ekonomi suatu negara mengalami kontraksi qtq dalam dua kuartal beruntun, itu disebut dengan resesi teknikal. So, Negeri Adikuasa kini sudah resmi masuk ke 'jurang' resesi.
TIM RISET CNBC INDONESIA