Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$ Lagi, Kebijakan BI Sukses?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
25 July 2022 15:18
Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS).
Foto: Ilustrasi dolar Amerika Serikat (AS). (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sukses menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Senin (25/7/2022). Dengan demikian, sejak Bank Indonesia mengumumkan kebijakanya rupiah sudah menguat 2 hari beruntun dan kembali ke bawah Rp 15.000/US$.

Melansir data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan di Rp 14.995/US$, menguat 0,13% di pasar spot.

BI pada Kamis pekan lalu masih mempertahankan suku bunga acuannya, saat banyak analis memprediksi akan dinaikkan.

"Rapat Dewan Gubernur Juli 2022 memutuskan mempertahankan BI 7- Day Reverse Repo rate (BI 7-DRR) pada level 3,5%," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (21/7/2022).

Sementara itu suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%.

BI sudah 18 bulan mempertahankan suku bunga di rekor terendah tersebut. Meski demikian, BI juga sudah mengurangi likuiditas dengan menaikkan Giro Wajib Minimum (GWM) hingga September nanti. BI mendorong kenaikan suku bunga antar bank untuk tenor lebih dari satu pekan.

Selain itu, BI juga penjualan surat berharga negara (SBN)

"Penjualan SBN dilakukan dalam rangka pengelolaan operasi moneter, juga mendorong yield SBN di pasar sekunder itu bergerak naik," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers pekan lalu.

Diketahui dalam dua tahun terakhir, BI cukup gencar melakukan pembelian SBN. Terutama saat dilepas oleh investor ketika pasar keuangan guncang akibat pandemi covid-19 pada 2020 silam. Hal ini mendorong berlimpahnya likuiditas di pasar.

Untuk APBN 2020 SBN yang diserap berjumlah Rp473,42 triliun. Terdiri dari pembelian SBN dari pasar perdana (SKB I) sebesar Rp75,86 triliun dan pembelian SBN secara langsung dalam rangka burden sharing (SKB II) sebesar Rp397,56 triliun.

Selain itu, Bank Indonesia juga membeli SBN dari pasar sekunder sebesar Rp166,20 triliun dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah dan pasar SBN.

Pada APBN 2021 berjumlah mencapai Rp358,32 triliun, terdiri dari Rp67,87 triliun melalui lelang utama, Rp75,46 triliun melalui lelang tambahan (GSO), serta 215 triliun melalui private placement. Selain itu, Bank Indonesia juga membeli SBN dari pasar sekunder sebesar Rp8,62 triliun dalam rangka stabilisasi nilai tukar Rupiah dan pasar SBN.

Pembelian SBN di pasar perdana untuk APBN 2022 (per 28 Juni 2022) mencapai Rp32,78 triliun, terdiri dari Rp13,81 triliun melalui lelang utama, Rp6,96 triliun melalui lelang tambahan (GSO), serta Rp12,01 triliun melalui private placement. Bank Indonesia juga berkomitmen untuk pembelian SBN berdasarkan SKB III sebesar Rp224 triliun untuk pembiayaan kesehatan dan kemanusiaan dalam APBN 2022.

Likuiditas yang melimpah itu kini dianggap sudah berlebihan. Sehingga BI mulai melakukan normalisasi mengarah ke pengetatan kebijakan moneter dengan melakukan penjualan SBN untuk menarik likuiditas.

Mengenai jumlah penjualan, BI akan melihat kondisi pasar.

"Jumlah penjualan dalam implementasinya akan selalu memerhatikan dinamika pasar dan pertimbangan-pertimbangan dari sisi kebijakan," terangnya.

David Sumual, Ekonom PT Bank BCA Tbk kepada CNBC Indonesia menuturkan bahwa langkah BI sebenarnya tidak jauh berbeda dari Amerika Serikat (AS). Hanya AS ambil langkah lebih cepat karena lonjakan inflasi yang amat mengkhawatirkan.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Tak Takut Capital Outflow di Pasar?

Menurut David, risiko yang perlu diperhatikan BI ketika penjualan SBN adalah pihak pembelinya. Ia meragukan asing akan tertarik sehingga mendorong terjadinya inflow.

"Kalau dilihat kan pengennya asing, cuma sekarang kenyataannya outflow terus," imbuhnya.

Dengan suku bunga yang tetap dipertahankan, selisih imbal hasil (yield) dengan obligasi AS (Treasury) tentunya semakin menyempit. Sebab, bank sentral AS (The Fed) masih terus menaikkan suku bunga.

The Fed sejauh ini sudah menaikkan suku bunga sebanyak 3 kali dengan total 150 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%.

Pasar memperkirakan The Fed akan kembali menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 2,25% - 2,5%. Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, probabilitas kenaikan tersebut sekitar 80%. Namun, ada juga probabilitas sekitar 20% The Fed akan menaikkan suku bunga sebesar 100 basis poin.

Dengan kenaikan tersebut, yield Treasury tentunya akan meningkat dan selisihnya semakin menyempit dengan SBN. Hal ini tentunya memicu capital outflow.

Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR)menunjukkan pada Juli hingga tanggal 22, capital outflow yang terjadi di pasar SBN sebesar Rp 29 triliun. Dengan demikian, sepanjang tahun ini total capital outflow sebesar Rp 140 triliun, dan yang terbesar terjadi Maret lalu senilai Rp 48,3 trillun.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular