Yuk Berhitung! BI Tahan Suku Bunga, Untung Atau Buntung?

Maesaroh, CNBC Indonesia
22 July 2022 09:16
Gedung Bank Indonesia
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) kembali menahan suku bunga acuan pada bulan ini. Keputusan BI di satu pihak akan sangat menopang pertumbuhan ekonomi serta daya beli. Di sisi lain, pasar keuangan Indonesia bisa goyang karena aset domestik menjadi kurang menarik.

BI memutuskan untuk menahan BI-Seven Day Reverse Repo Rate (BI-7DRR) di level 3,5%, kemarin. Gubernur BI Perry Warjiyo menegaskan keputusan menahan suku bunga acuan didasari pada perlunya BI menjaga momentum pertumbuhan serta dengan mempertimbangkan laju inflasi inti yang masih terjaga.

Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengatakan dipertahankannya suku bunga acuan akan meringankan dunia usaha. Pasalnya, suku bunga pinjaman diharapkan tidak akan naik selama BI-7DRR ditahan.

"Dengan dipertahankan suku bunga BI artinya belum mendorong peningkatan cost of borrowing yang selanjutnya akan mendukung pertumbuhan konsumsi rumah tangga," tutur Josua, kepada CNBC Indonesia.


Sebagai catatan, Indonesia menggantungkan 56% pertumbuhannya kepada konsumsi rumah tangga. Jika laju konsumsi rumah tangga melandai maka pertumbuhan ekonomi diyakini akan melemah.

Konsumsi rumah tangga sendiri baru bisa tumbuh 4,34% pada kuartal II-2022, belum kembali ke level historisnya di kisaran 5%.
"Di saat bersamaan, (Ditahannya suku bunga) akan tetap mendorong permintaan kredit/pembiayaan dari sektor riil terhadap sektor jasa keuangan," ujarnya.

Pertumbuhan kredit memang sudah kembali ke level double digit pada Juni ini yakni 10,66% (year on year/yoy). Namun, pertumbuhan kredit rawan penurunan jika suku bunga meningkat.

Senada, ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro juga menjelaskan dampak paling positif dari dipertahankannya suku bunga acuan adalah masih terjaganya suku bunga kredit perbankan.

"Cost of fund gak naik jadi suku bunga kredit juga gak naik," tutur Andry.

Pinjaman dari perbankan masih menjadi sumber utama pembiayaan investasi di Indonesia. Suku bunga pinjaman yang terjaga diharapkan bisa meningkatkan gerak investasi di Tanah Air.

Berdasarkan data Otorita Jasa Keuangan (OJK), rata-rata suku bunga dasar kredit korporasi kini ada di angka 8,04% sementara kredit pemilikan rumah (KPR) ada di 8,74%. Suku bunga kredit masih jauh dari BI-7DRR yang ada di angka 3,5%.

Suku  bunga perbankanFoto: OJK
Suku bunga perbankan

Ekonom BCA Lazuardin Thariq dan Barra Kukuh Mamia dalam laporannya BI Policy: A show of confidence mengatakan dipertahankannya suku bunga menunjukkan konsistensi BI dalam menjaga pertumbuhan.

Barra mengatakan ekspor Indonesia memang tampil impresif pada tahun ini karena lonjakan harga komoditas. Namun, perlambatan ekonomi global bisa menggerus nilai ekspor sehingga perlambatan bisa terjadi.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat nilai ekspor pada Juni 2022 mencapai US$ 26,09 miliar. Nilai ekspor Juni adalah yang tertinggi ketiga setelah April 2022 (US$ 27,32 miliar) serta Maret 2022 (US$ 26,50 miliar).

Secara keseluruhan, ekspor pada Januari-Juni atau semester I tahun ini tercatat US$ 141,07 miliar atau melonjak 37,11% dibandingkan periode yang sama sebelumnya.

"Outlook harga komoditas sudah mulai memburuk. Komoditas memang sudah mendapatkan banyak profit di awal karena kondisi supernormal pada pasar komoditas tetapi beberapa harga komoditas sudah melemah," tutur Barra Kukuh Mamia.

Seperti diketahui, kenaikan harga komoditas tidak hanya menguntungkan negara dalam bentuk lonjakan penerimaan tetapi juga kenaikan pendapatan bagi pekerja di daerah yang menjadi kantong-kantong penghasil komoditas seperti Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua.

Kenaikan pendapatan akan meningkatkan daya beli yang berujung pada membaiknya pertumbuhan ekonomi. Sebaliknya, harga komoditas yang melanda bisa menyusutkan daya beli dan pertumbuhan.

Kendati memberikan sejumlah dampak positif, kebijakan BI dalam mempertahankan suku bunga acuan juga bisa berdampak buruk ke sejumlah sektor, terutama pasar keuangan.

Kemarin,rupiah melemah 0,3% ke Rp 15.030/US$. Artinya, untuk pertama kalinya sejak 5 Mei 2020 rupiah mengakhiri perdagangan di atas Rp 15.000/US$.

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kemarin ditutup melemah tipis 0,15% di 6.864,13. Sementara itu, mayoritas investor kembali melepas SBN, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield) di hampir seluruh tenor.

Yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara kembali menanjak sebesar 2 bp ke 7,484% pada perdagangan hari ini.

"Kebijakan menahan suku bunga dalam jangka pendek akan membuat yield SBN naik. Namun, kenaikan yield nantinya akan menjadi daya tarik perbankan sehingga mereka kembali masuk," tutur Barra.

Dengan dipertahankannya BI-7DRR di angka 3,5% maka required rate of return (RRR) menjadi terbatas sehingga banyak investor yang menjual obligasi pemerintah.

Nilai tukar rupiah juga terancam melemah karena dipertahankannya suku bunga acuan. Barra menjelaskan nilai tukar emerging market sangat dipengaruhi oleh kebijakan suku bunga dan laju inflasi karena hal itu mempengaruhi real rate investor. Dengan laju inflasi yang kencang sementara suku bunga tetap maka real rate bisa berkurang.

Sebagai catatan, inflasi Indonesia menembus 4,35% (yoy) pada Juni sementara BI-7DRR ada di angka 3,5% sehingga real rate menjadi minus.

"Suku bunga yang lebih tinggi bisa memperkuat nilai tukar terutama karena adanya tekanan imported inflasi karena daya beli konsumen yang menguat," imbuhnya.



Ekonom DBS Radhika Rao mengatakan dipertahankannya suku bunga acuan BI akan mempengaruhi rupiah dan yield obligasi pemerintah. Dia menjelaskan di tengah ketatnya suku bunga acuan di tingkat global, kenaikan suku bunga acuan BI sebenarnya bisa berdampak positif terhadap pergerakan yield SBN dan nilai tukar.

"Rupiah masih dalam tekanan karena ketidakpastian global," ujar Rao, dalam keterangannya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jreng! Kejutan BI Saat Hampir Tak Ada Meramal Suku Bunga Naik

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular