Naik Lagi, Dolar Australia Batal ke Bawah Rp 10.000?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 July 2022 12:35
Ilustrasi Mata Uang Asing (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)
Foto: Ilustrasi Mata Uang Asing (CNBC Indonesia/ Muhammad Sabki)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kamis pekan lalu, dolar Australia nyaris menembus ke bawah Rp 10.000/AU$, tetapi setelahnya berhasil rebound. Malah, kini mampu menguat 2 hari beruntun melawan rupiah.

Melansir data Refinitiv, pada pukul 12:05 WIB, dolar Australia diperdagangkan di kisaran Rp 10.197/AU$, naik 0,16% di pasar spot.

Meski demikian, ke depannya dolar Australia masih berisiko turun dan menembus ke bawah Rp 10.000/AU$, sebab perekonomian dunia terancam mengalami resesi, dan Australia juga berisiko mengalami hal yang sama.

Commonwealth Bank of Australia memperkirakan di akhir tahun ini dolar Australia akan melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke US$ 0,65, dari level saat ini US$ 0,68. Ketika dolar Australia melemah melawan dolar AS, maka melawan rupiah juga berpeluang turun.

Hal senada juga diungkapkan oleh Rodrigo Catril, ahli strategi mata uang di National Australia Bank, yang melihat isu resesi akan membuat dolar Australia terpuruk.
"Sebagai mata uang pro-growth, dolar Australia menjadi rentan akibat kekhawatiran akan reses," kata Catril, sebagaimana dilansir Bloomberg, Minggu (10/7/2022).

Australia menjadi salah satu negara yang diperkirakan akan mengalami resesi akibat tingginya inflasi, serta kebijakan bank sentralnya (Reserve Bank of Australia/RBA) yang agresif menaikkan suku bunga.

"Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter merupakan aset yang sangat berharga yang tidak boleh hilang, sehingga bank sentral akan agresif menaikkan suku bunga," kata Rob Subbraman, kepala ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International, Selasa (5/7/2022).

Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi.
"Kenaikan suku bunga yang agresif artinya kita melihat kebijakan front loading. Dalam beberapa bulan kami telah melihat risiko resesi, dan sekarang beberapa negara maju benar-benar jatuh ke jurang resesi," tambah Subbraman.

Diana Mousina, ekonom senior di AMP Australia juga menyebut kenaikan suku bunga akan berdampak pada harga perumahan, belanja konsumen dan investasi perumahan yang bisa menekan tingkat keyakinan konsumen.

Analis dari Nomura juga memasukkan Australia sebagai negara yang berisiko mengalami resesi dalam 12 bulan ke depan. Resesi akan semakin pasar jika kenaikan suku bunga sampai memicu runtuhnya pasar properti.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dolar Australia Tak Mampu Tembus Rp 10.700/AU$, Ada Apa?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular