Alert! Bursa Asia Dibuka Merah Membara, Gegara Inflasi di AS?

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
14 July 2022 08:48
A man is reflected on an electronic board showing a graph analyzing recent change of Nikkei stock index outside a brokerage in Tokyo, Japan, January 7, 2019. REUTERS/Kim Kyung-Hoon
Foto: Bursa Tokyo (REUTERS/Kim Kyung-Hoon)

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik dibuka melemah pada perdagangan Kamis (14/7/2022), menyusul pergerakan bursa saham Amerika Serikat (AS) yang juga terkoreksi pada Rabu kemarin setelah dirilisnya data inflasi terbaru periode Juni 2022.

Indeks Nikkei Jepang dibuka melemah 0,53%, Hang Seng Hong Kong terkoreksi 0,32%, Shanghai Composite China terpangkas 0,48%, Straits Times Singapura terdepresiasi 0,41%, dan KOSPI Korea Selatan drop 0,53%.

Hanya indeks ASX 200 Australia yang dibuka di zona hijau pada hari ini, yakni menguat 0,15%.

Dari Singapura, Kementerian Perdagangan dan Industri (MIT) memperkirakan produk domestik bruto (PDB) negara itu tumbuh 4,8% pada kuartal kedua 2022 dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.

Perkiraan PDB Singapura pada kuartal II-2022 naik dari 4% pada kuartal pertama tahun ini, tetapi lebih rendah dari pertumbuhan 5,2% yang diperkirakan para analis dalam survei Reuters.

Bursa Asia-Pasifik yang cenderung melemah terjadi di tengah terkoreksinya lagi bursa saham Amerika Serikat (AS), Wall Street pada Rabu kemarin waktu setempat, setelah dirilisnya data inflasi terbaru periode Juni 2022.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup melemah 0,67% ke posisi 30.772,789, S&P 500 terkoreksi 0,45% ke 3.801,78, dan Nasdaq Composite turun 0,15% menjadi 11.247,58.

Inflasi AS dari sisi konsumen (Indeks Harga Konsumen/IHK) pada bulan lalu kembali melonjak 9,1% secara tahunan (year-on-year/yoy). Laju inflasi aktual tersebut lebih tinggi dari perkiraan pasar yang memprediksi hanya naik 8,8% secara tahunan.

Laju inflasi Juni 2022 juga lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang hanya 8,6% (yoy). Kini, inflasi AS sudah mencapai laju tertingginya sejak November 1981.

Inflasi inti AS yang mencerminkan kenaikan harga barang dan jasa di luar harga pangan serta energi naik 5,9% (yoy). Pun lebih tinggi dari estimasi konsensus di angka 5,7%.

Melihat inflasi AS yang masih mengganas tersebut, pelaku pasar mulai memperkirakan bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 basis poin (bp).

Untuk diketahui, sebelum rilis data inflasi semalam, mayoritas pelaku pasar masih memperkirakan The Fed bakal mengerek Fed Funds Rate/FFR (suku bunga acuan AS) sebesar 75 bp.

Namun setelah rilis data inflasi tersebut, pelaku pasar memperkirakan ada peluang sebesar 51,1% Fed bakal lebih agresif dengan menaikkan FFR sebesar 100 bp, jika mengacu pada CME FedWatch.

"Tak ada jalan lain, kecuali The Fed harus lebih agresif dalam waktu dekat dan menghajar sisi permintaan. Itu yang akan memicu resesi sekarang," tutur Liz Ann Sonders, analis Charles Schwab seperti dikutip CNBC International.

Imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun-yang menjadi acuan pasar-bertambah 7 bp ke 3,03%, sementara imbal hasil obligasi serupa bertenor 2 tahun melompat 11 bp menjadi 3,16%.

Artinya, terjadi kurva inversi (inverted yield curve), di mana imbal hasil obligasi tenor pendek bersinggungan dan bahkan melampaui obligasi tenor panjang. Hal ini dimaknai sebagai sinyal bakal terjadinya resesi.

Bank of America mengatakan bahwa ekonomi AS akan jatuh ke dalam mild recession tahun ini dan tingkat pengangguran akan mencapai 4,3% tahun depan dari level sekarang di 3,6%.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular