Resesi Dunia di Depan Mata, Gegara China Lockdown Terus!

Jakarta, CNBC Indonesia - China menerapkan kebijakan zero Covid-19, artinya tidak bisa mentoleransi ketika ada penambahan kasus penyakit akibat virus corona ini. Ketika jumlah kasus mulai meningkat, maka pembatasan sosial kembali diketatkan, bahkan tidak segan melakukan lockdown.
Hal tersebut tentunya bagus untuk meredam penyebaran Covid-19, tetapi akan berdampak buruk bagi perekonomian, begitu juga dengan aset-aset berisiko.
Hampir semua negara tidak lagi menerapkan lockdown, China justru konsisten melakukannya di tahun ini, meski dilakukan per wilayah saja.
Shanghai, salah satu pusat perekonomian China kini terancam akan "digembok" akibat kenaikan kasus Covid-19.
Kebijakan zero lockdown tersebut membuat banyak institusi finansial memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi China di tahun ini. Produk domestik bruto (PDB) China di awal tahun ini diprediksi akan tumbuh hingga 5,5%, tetapi kini banyak yg memprediksi di bawah 4% saja.
Nomura Holding Inc. misalnya, memproyeksikan PDB China di tahun ini hanya akan tumbuh 3,9%. PDB kuartal II-2022 bahkan dibabat nyaris separuh menjadi 1,8% dari sebelumya 3,4%.
Dalam catatan yang dikutip Bloomberg April lalu, analis dari Nomura menyoroti beberapa data ekonomi memburuk di bulan April, jumlah kota yang mengalami lockdown bertambah, disrupsi logistik memburuk, dan tidak ada tanda-tanda pemerintah Beijing akan menghilangkan strategi zero Covid dalam waktu dekat membuat pertumbuhan ekonomi China menyusut.
Masalahnya, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di dunia, juga konsumen komoditas terbesar. Ketika perekonomiannya terpuruk maka dunia akan terkena dampaknya, begitu juga dengan pasar finansial global. Bursa saham di seluruh dunia rontok, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga ikut terseret belakangan ini.
Ketika perekonomian China menyusut, maka dunia yang sedang terancam mengalami resesi tentunya waktu terjadinya akan semakin dekat.
Beberapa negara maju dengan nilai perekonomian raksasa sedang mengalami inflasi tinggi dan direspon oleh bank sentralnya dengan kenaikan suku bunga yang agresif.
Hal tersebut berisiko memicu resesi. Amerika Serikat menjadi yang terdepan dalam menaikkan suku bunga, dan diperkirakan akan paling awal mengalami resesi. Beberapa tanda sudah muncul, dari inversi yield Treasury misalnya.
"Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter merupakan aset yang sangat berharga yang tidak boleh hilang, sehingga bank sentral akan agresif menaikkan suku bunga," kata Rob Subbraman, kepala ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International, Selasa (5/7/2022).
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Deretan Negara Maju Yang Diramal Resesi