Breaking: Pertama Sejak Mei 2020, Rupiah Tembus Rp 15.000/US$

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah berfluktuasi melawan dolar Amerika Serikat (AS) di pembukaan perdagangan Selasa (6/7/2022). Sempat menguat beberapa saat, rupiah hari ini akhirnya menyentuh Rp 15.000/US$, pertama kalinya sejak Mei 2020.
Rupiah membuka perdagangan hari ini di Rp 14.990/US$ atau melemah 0,03% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Setelahnya rupiah sempat menyentuh Rp 14.995/US$, sebelum berbalik menguat tipis 0,03% ke Rp 14.981/US$.
Rupiah tak kuasa menahan tekanan dan akhirnya menyentuh Rp 15.000/US$ pada pukul 09:06 WIB. Level tersebut merupakan yang terlemah dalam lebih dari 2 tahun terakhir.
Tanda-tanda rupiah akan menembus level psikologis sudah terlihat sejak pagi tadi. Posisi rupiah di pasar non-deliverable forward (NDF) berada di atas Rp 15.000/US$ di semua tenor, bahkan sudah sejak beberapa saat setelah penutupan perdagangan Selasa.
Periode | Kurs Selasa (5/7) pukul 15:13 WIB | Kurs Rabu (6/7) pukul 8:54 WIB |
1 Pekan | Rp15.008,8 | Rp15.010,5 |
1 Bulan | Rp15.051,9 | Rp15.033,9 |
2 Bulan | Rp15.072,5 | Rp15.052,5 |
3 Bulan | Rp15.098,6 | Rp15.074,8 |
6 Bulan | Rp15.132,9 | Rp15.129,5 |
9 Bulan | Rp15.199,6 | Rp15.173,3 |
1 Tahun | Rp15.277,6 | Rp15.276,4 |
2 Tahun | Rp15.679,6 | Rp15.684,0 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Indeks dolar AS yang melesat 1,3% ke kisaran 106,5 pada perdagangan Selasa membuat rupiah tertekan. Level tersebut merupakan yang tertinggi dalam nyaris 20 tahun terakhir.
Negeri adikuasa Amerika Serikat akan kembali mengalami resesi. Banyak analis memperkirakan resesi akan terjadi di akhir tahun ini atau semester pertama 2023.
Meski demikian, dolar AS justru semakin banyak diburu pelaku pasar, terlihat dari indeksnya yang terus menanjak. Resesi tidak hanya diperkirakan terjadi di Amerika Serikat, tetapi beberapa negara besar lainnya akibat menaikkan suku bunga dengan agresif guna meredam inflasi.
"Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter merupakan aset yang sangat berharga yang tidak boleh hilang, sehingga bank sentral akan agresif menaikkan suku bunga," kata Rob Subbraman, kepala ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International, Selasa (5/7/2022).
Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi.
"Kenaikan suku bunga yang agresif artinya kita melihat kebijakan front loading. Dalam beberapa bulan kami telah melihat risiko resesi, dan sekarang beberapa negara maju benar-benar jatuh ke jurang resesi," tambah Subbraman.
Hal ini tentunya membuat permintaan dolar AS yang menyandang status safe haven semakin meningkat. Apalagi bank sentralnya (The Fed) agresif menaikkan suku bunga, aliran modal pun masuk ke Negeri Paman Sam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer
