
Sampai Kapan Bisa Bertahan di Bawah Rp 15.000/US$, Rupiah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan bagi rupiah masih terus berlanjut hingga perdagangan Rabu (6/7/2022). Rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS), tetapi masih belum menyentuh Rp 15.000/US$
Rupiah membuka perdagangan di Rp 14.990/US$ atau melemah 0,03% di pasar spot, melansir data Refinitiv. Setelahnya rupiah sempat menyentuh Rp 14.995/US$, sebelum berbalik menguat tipis 0,03% ke Rp 14.981/US$ pada pukul 9:03 WIB.
Meski demikian, risiko rupiah menembus ke atas Rp 15.000/US$ sangat besar melihat posisinya di pasar non-deliverable forward (NDF) yang berada di atas level psikologis tersebut di semua tenor, bahkan sudah sejak beberapa saat setelah penutupan perdagangan Selasa.
Periode | Kurs Selasa (5/7) pukul 15:13 WIB | Kurs Rabu (6/7) pukul 8:54 WIB |
1 Pekan | Rp15.008,8 | Rp15.010,5 |
1 Bulan | Rp15.051,9 | Rp15.033,9 |
2 Bulan | Rp15.072,5 | Rp15.052,5 |
3 Bulan | Rp15.098,6 | Rp15.074,8 |
6 Bulan | Rp15.132,9 | Rp15.129,5 |
9 Bulan | Rp15.199,6 | Rp15.173,3 |
1 Tahun | Rp15.277,6 | Rp15.276,4 |
2 Tahun | Rp15.679,6 | Rp15.684,0 |
NDF adalah instrumen yang memperdagangkan mata uang dalam jangka waktu tertentu dengan patokan kurs tertentu pula. Sebelumnya pasar NDF belum ada di Indonesia, hanya tersedia di pusat-pusat keuangan internasional seperti Singapura, Hong Kong, New York, atau London.
Pasar NDF seringkali mempengaruhi psikologis pembentukan harga di pasar spot. Oleh karena itu, kurs di NDF tidak jarang diikuti oleh pasar spot.
Indeks dolar AS yang melesat 1,3% ke kisaran 106,5 pada perdagangan Selasa membuat rupiah tertekan. Level tersebut merupakan yang tertinggi dalam nyaris 20 tahun terakhir.
Negeri adikuasa Amerika Serikat akan kembali mengalami resesi. Banyak analis memperkirakan resesi akan terjadi di akhir tahun ini atau semester pertama 2023.
Meski demikian, dolar AS justru semakin banyak diburu pelaku pasar, terlihat dari indeksnya yang terus menanjak.
Berdasarkan data dari Atlantic Council yang mengutip data dari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada periode 1999-2019, penggunaan dolar AS dalam transaksi internasional di wilayah Amerika Utara dan Selatan mencapai 96,4%. Kemudian di Asia Pasifik nilainya mencapai 74%.
Porsi penggunaan dolar AS hanya lebih kecil di Eropa yakni 23,1% saja. Maklum saja, Eropa memiliki mata uang tunggal yakni euro yang kontribusinya terhadap perdagangan ekspor impor di Eropa mencapai 66,1%.
Di sisa dunia lainnya, penggunaan dolar AS mencapai 79,1%. Belum lagi melihat porsinya di cadangan devisa global yang hampir 60%, terlihat jelas bagaimana dominasi dolar AS di dunia finansial.
![]() idr |
Artinya, dolar AS bisa diterima di mana-mana. Hal ini membuat permintaanya selalu tinggi, apalagi dengan The Fed yang agresif menaikkan suku bunga, aliran modal tentunya masuk ke Negeri Paman Sam.
Selain itu, resesi tidak hanya diperkirakan terjadi di Amerika Serikat, tetapi beberapa negara besar lainnya akibat menaikkan suku bunga dengan agresif guna meredam inflasi.
"Banyak bank sentral saat ini mandatnya pada dasarnya berubah menjadi tunggal, yakni menurunkan inflasi. Kredibilitas kebijakan moneter merupakan aset yang sangat berharga yang tidak boleh hilang, sehingga bank sentral akan agresif menaikkan suku bunga," kata Rob Subbraman, kepala ekonom Nomura dalam acara Street Signs Asia CNBC International, Selasa (5/7/2022).
Subbraman memproyeksikan dalam 12 bulan ke depan zona euro, Inggris, Jepang, Australia, Kanada dan Korea Selatan juga akan mengalami resesi.
"Kenaikan suku bunga yang agresif artinya kita melihat kebijakan front loading. Dalam beberapa bulan kami telah melihat risiko resesi, dan sekarang beberapa negara maju benar-benar jatuh ke jurang resesi," tambah Subbraman.
Hal ini tentunya membuat permintaan dolar AS yang menyandang status safe haven semakin meningkat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kabar Dari China Bakal Hadang Rupiah ke Bawah Rp 15.000/US$?
