Harga Mayoritas SBN Melemah, Pasar Masih Tunggu Data Ekonomi

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
05 July 2022 18:45
Ilustrasi Bursa
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga mayoritas obligasi pemerintah atau Surat Berharga Negara (SBN) ditutup melemah pada perdagangan Selasa (5/7/2022), di tengah optimisnya pelaku pasar hari ini setelah sehari sebelumnya mereka cenderung pesimis.

Mayoritas investor melepas SBN hari ini, ditandai dengan naiknya imbal hasil (yield). Hanya SBN tenor 3, 15, dan 25 tahun yang ramai diburu oleh investor, ditandai dengan penurunan yield dan penguatan harga.

Melansir data dari Refinitiv, yield SBN tenor 3 tahun melemah 2,1 basis poin (bp) ke posisi 4,272%, sedangkan yield SBN bertenor 15 tahun turun 0,3 bp ke 7,429%, dan yield SBN tenor 25 tahun drop 1,8 bp ke 7,554%.

Sementara itu, yield SBN berjatuh tempo 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara kembali naik 2,6 bp ke posisi 7,298% pada perdagangan hari ini.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%.

Dari dalam negeri, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo memberikan sinyal kebijakan baru dalam menyikapi perkembangan ekonomi global yang penuh ketidakpastian dan mempengaruhi kondisi dalam negeri.

Hal ini disampaikan Perry dalam siaran pers yang diterbitkan Senin (4/7/2022) kemarin. Sederet ketidakpastian global ditandai dengan risiko stagflasi seiring kenaikan suku bunga kebijakan secara global di tengah ekonomi yang baru pulih, serta makin luasnya kebijakan proteksionisme oleh berbagai negara.

"Ke depan, Bank Indonesia akan terus mencermati perkembangan ekonomi dan keuangan global dan domestik, merumuskan dan melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan stabilitas makroekonomi dan stabilitas keuangan, termasuk penyesuaian lebih lanjut stance kebijakan bila diperlukan, serta terus memperkuat sinergi dengan Pemerintah untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional," jelas Perry.

Kalimat "penyesuaian lebih lanjut stance kebijakan" bisa menjadi indikasi bahwa BI mulai mempertimbangkan menaikkan suku bunga guna menjaga stabilitas rupiah, serta inflasi di RI yang mulai menanjak.

Pada bulan Juni, inflasi RI tercatat tumbuh 4,35% secara tahunan (year-on-year/yoy), tertinggi dalam 5 tahun terakhir. Tetapi kenaikan inflasi inti tidak setinggi inflasi headline, sebesar 2,63% (yoy).

Sementara itu dari AS, yield obligasi pemerintah (US Treasury) terpantau cenderung menguat pada hari ini, di mana hari ini merupakan perdagangan perdana pasar keuangan di AS pada pekan ini.

Dilansir dari CNBC International, yield Treasury tenor 10 tahun naik tipis 0,2 bp ke posisi 2,906% pada hari ini, dari sebelumnya pada perdagangan akhir pekan lalu di 2,904%.

Pasar global mulai memasuki perdagangan di paruh kedua tahun ini, didominasi oleh kekhawatiran atas inflasi, perang antara Rusia-Ukraina, dan potensi resesi global.

Aset berisiko cenderung masih dihindari oleh investor, sedangkan aset safe haven cenderung masih diburu, meski pada hari ini investor melepas obligasi pemerintah.

Pada pekan ini, investor menantikan rilis data laporan pekerjaan AS pada periode Juni. Menurut perkiraan pasar dalam polling Dow Jones, pertumbuhan pekerjaan kemungkinan melambat di bulan lalu, dengan 250.000 non-farm payrolls (NFP) ditambahkan, turun dari 390.000 di bulan Mei.

Di lain sisi, ekonomi dalam survei Dow Jones memperkirakan tingkat pengangguran Negeri Paman Sam pada bulan lalu akan bertahan di 3,6%.

Selain itu, investor juga menanti rilis hasil dari rapat dua hari bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada Rabu siang waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia.

Investor akan melihat dan menilai sikap The Fed di tengah masih tingginya inflasi dibarengi oleh potensi resesi yang akan menimpa AS dan beberapa negara maju lainnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Pasar SBN Masih Diburu Investor, Yieldnya Turun Lagi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular