Dunia Menuju Resesi, di Mana "Ternak" Duit yang Tepat?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
05 July 2022 13:45
[THUMB] Resesi
Foto: Arie Pratama

Jakarta, CNBC Indonesia - Ancaman resesi dunia semakin menjadi nyata akibat tingginya inflasi. Aset-aset berisiko pun rontok belakangan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hingga Senin kemarin mencatat penurunan 6 hari beruntun, dengan total nyaris 7%.

Kepala ekonom global Citigroup, Nathan Sheets, mengatakan risiko dunia mengalami resesi kini sebesar 50% dalam 18 bulan ke depan.

"Ekonomi global terus dilanda guncangan supply yang parah, yang membuat inflasi meninggi dan pertumbuhan ekonomi melambat. Tetapi, kini dua faktor lagi muncul, yakni bank sentral yang menaikkan suku bunga dengan sangat agresif serta demand konsumen yang melemah," kata Sheets sebagaimana dilansir Yahoo Finance, Rabu (22/7/2022).

Berdasarkan model yang dibuat, Sheet melihat produk domestik bruto (PDB) dunia di tahun ini akan tumbuh 2,3%, turun dari sebelumnya 2,6%, sementara untuk 2023 sebesar 1,7% turun dari proyeksi sebelumnya 2,1%.

"Kami menyimpulkan bank sentral menghadapi tantangan yang sangat berat dalam menurunkan inflasi. Berkaca dari sejarah, langkah yang digunakan untuk menurunkan inflasi memberikan dampak buruk ke perekonomian, dan kami saat ini melihat probabilitas hampir 50% dunia akan mengalami resesi. Bank sentral sejauh ini belum menerapkan kebijakan soft landing atau pelambatan ekonomi tanpa memicu inflasi dalam proyeksi mereka, begitu juga dengan yang kami lihat," tambah Sheets.

Beberapa bank sentral utama dunia memang agresif menaikkan suku bunga guna meredam inflasi. Bank sentral Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Federal Reserve (The Fed) yang paling agresif.

Di semester I-2022 The Fed tiga kali menaikkan suku bunga, termasuk 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75% pada bulan lalu. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994.

Tidak hanya itu, di bulan ini The Fed juga berencana menaikkan suku bunga 50 - 75 basis poin, dan di akhir tahun suku bunga diproyeksikan di kisaran 3,25% - 3,5%.

Ketika suku bunga tinggi, maka ekspansi dunia usaha akan menjadi terhambat. Begitu juga dengan konsumsi rumah tangga yang sudah terpukul akibat tingginya inflasi, sehingga risiko resesi semakin membesar.

Sementara itu Paul Gambles, managing partner di MBMG Group mengatakan menaikkan suku bunga untuk meredam inflasi yang saat ini terjadi merupakan kebijakan yang salah.

"Menaikkan suku bunga untuk menurunkan demand, sehingga inflasi menurun bukan merupakan solusi yang tepat. Sebab, tingginya inflasi saat ini dipicu oleh masalah supply," kata Gambles, sebagaimana dilansir CNBC International, Senin (4/7/2022).

Ia menambahkan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) menjadi yang pertama menyatakan kebijakan moneter tidak bisa mengurangi supply shock, tetapi mereka masih terus menaikkan suku bunga.

Semakin tinggi suku bunga maka ekspansi dunia usaha semakin melambat. Seandainya inflasi masih tetap tinggi, maka daya beli masyarakat akan terus tergerus yang akhirnya membawa dunia ke jurang resesi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Divestasi Investasi Jadi Solusi "Ternak" Duit

Menghadapi ancaman resesi, Anthony Watson, founder dan presiden Thrive Retirement Specialist di Michigan sebagaimana dikutip menyarankan melakukan divestasi investasi.

Menurutnya, dalam kondisi resesi, value stock atau saham-saham yang dinilai memiliki harga terlalu rendah ketimbang kinerja keuangannya, akan lebih menguntungkan ketimbang growth stock.

"Value stock cenderung unggul ketimbang growth stock ketika memasuki resesi," kata Watson sebagaimana dilansir CNBC International, Sabtu (2/7/2022).

Selain itu, iya juga menyatakan bisa mempertimbangkan masuk ke obligasi, sebab selain lebih aman ketimbang saham, imbal hasil (yield) yang ditawarkan kini cukup tinggi.

Kenaikan suku bunga yang dilakukan bank sentral membuat yield obligasi cenderung akan menanjak. Hal ini tentunya memberikan keuntungan, apalagi obligasi merupakan aset yang lebih aman ketimbang saham.

Selain obligasi, emas yang secara tradisional menjadi aset lindung nilai terhadap inflasi juga bisa menjadi pilih investasi. Awal Maret lalu emas sempat melesat ke US$ 2.069/troy ons dan nyaris memecahkan rekor tertinggi sepanjang masa.

Namun setelahnya justru melempem dan kini diperdagangkan di dekat US$ 1.800/troy ons. Seandainya dunia mengalami resesi, apalagi jika kebijakan bank sentral gagal menurunkan inflasi dengan cepat, maka emas punya potensi kembali melesat.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular