Makin Dekat Rp 15.000/US$, Rupiah Aman di Semester II?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 July 2022 13:15
Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)
Foto: Uang Edisi Khusus Kemerdekaan RI ke 75 (Tangkapan Layar Youtube Bank Indonesia)

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah belum menunjukkan kinerja yang bagus melawan dolar Amerika Serikat (AS) memasuki semester II-2022. Pada Jumat (1/7/2022), rupiah melemah 0,27% ke Rp 14.935/US$, bahkan sempat menyentuh Rp 14.970/US$ yang merupakan level terlemah dalam lebih dari 2 tahun terakhir.

Pada perdagangan Senin (4/7/2022) rupiah kembali tertekan, hingga pukul 12:00 WIB berada di R- 14.960/US$, melemah 0,17% di pasar spot.

Memasuki semester II, data ekonomi dari dalam negeri memberikan tekanan bagi rupiah.

Badan Pusat Statistik Jumat lalu melaporkan inflasi pada Juni 2022 tercatat 0,61% dibandingkan bulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Inflasi tahun kalender adalah 3,19%

Secara tahunan (year-on-year/yoy), inflasi Juni 2022 berada di 4,35%. Lebih tinggi dibandingkan Mei 2022 yang 3,55% sekaligus jadi yang tertinggi sejak Juni 2017.

Rilis tersebut lebih tinggi dari konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi secara bulanan sebesar 0,44%. Sedangkan inflasi tahunan 'diramal' 4,15%.

Kenaikan inflasi tersebut juga lebih tinggi dari konsensus Trading Economics sebesar 4,17%, tetapi jika dilihat inflasi inti justru lebih rendah.

BPS melaporkan inflasi inti tumbuh 2,63% (yoy) dari sebelumnya 2,58% (yoy), sementara konsensus di Trading Economics memperkirakan sebesar 2,72% (yoy).

Hal ini bisa menjadi sinyal jika daya beli masyarakat mulai tergerus akibat kenaikan inflasi, yang tentunya berdampak buruk bagi perekonomian. Sebab, belanja rumah tangga merupakan kontributor terbesar produk domestik bruto (PDB) berdasarkan pengeluaran, dengan porsi mencapai 53,65% di kuartal I-2022.

Selain itu, S&P Global mengumumkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) Indonesia periode Juni 2022 berada di 50,2. PMI menggunakan angka 50 sebagai tolok ukur. Kalau masih di atas 50, maka artinya berada di zona ekspansi.

Akan tetapi, pencapaian Juni turun dibandingkan bulan sebelumnya yang tercatat 50,8. Skor PMI manufaktur Indonesia memang sudah 10 bulan beruntun di atas 50, tetapi Juni menjadi yang terendah.

"PMI berada di posisi terendah selama periode ekspansi, hanya tipis di atas zona netral 50. Hanya ada sedikit perbaikan, yaitu di sektor kesehatan," ungkap laporan S&P Global.

Industri pengolahan merupakan kontributor terbesar PDB berdasarkan lapangan usaha. DI kuartal I-2022 kontribusinya lebih dari 19% dari total PDB. Sehingga, ketika sektor manufaktur berkontraksi, pastinya akan berdampak ke pelambatan pertumbuhan ekonomi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Belum Keluarkan "Senjata Pamungkas"

Meski rupiah sudah mendekati Rp 15.000/US$, tetapi Bank Indonesia (BI) masih enggan mengeluarkan "senjata pamungkas", yakni suku bunga. Inflasi inti yang masih rendah menjadi alasan BI masih menahan suku bunganya acuannya di rekor terendah 3,5%.

"Inflasi inti rendah dan ruang BI untuk tidak buru-buru menaikkan suku bunga," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat Banggar, Jumat (1/7/2022).

BI, lanjut Perry tetap fokus dalam menjaga pertumbuhan ekonomi. Dalam hal normalisasi BI telah menempuh kebijakan kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) secara progresif.

"Suku bunga kami pertahankan sampai ada kenaikan-kenaikan inflasi yang fundamental terutama inflasi inti," pungkasnya.

Berbeda dengan BI, bank sentral AS (The Fed) sangat agresif dalam menaikkan suku bunganya. Di semester I-2022 The Fed tiga kali menaikkan suku bunga, termasuk 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75% pada bulan lalu. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994.

Tidak hanya itu, di bulan ini The Fed juga berencana menaikkan suku bunga 50 - 75 basis poin, dan di akhir tahun suku bunga diproyeksikan di kisaran 3,25% - 3,5%.
Artinya, suku bunga BI dan The Fed akan sama di akhir tahun jika Perry dan kolega tidak menaikkannya.

Meski demikian, kinerja rupiah masih cukup bagus, pelemahannya menjadi salah satu yang terkecil di Asia sepanjang tahun ini.

Jika BI akhirnya menaikkan suku bunga dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin rupiah akan menguat dan menjauhi Rp 15.000/US$.

Selain suku bunga, pergerakan harga komoditas akan mempengaruhi rupiah. Maklum saja, rupiah yang cukup stabil di tahun ini ditopang oleh pasokan valas dari surplus transaksi berjalan, berkat neraca perdagangan yang mencetak surplus 25 bulan beruntun.

Namun, harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) belakangan ini berbalik merosot. CPO bersama batu bara merupakan kontributor terbesar ekspor.

Harga CPO saat ini berada di kisaran 4.500 ringgit/ton, merosot lebih dari 37% dibandingkan akhir April lalu saat harganya berada di atas 7.200 ringgit/ton.

Penurunan harga tersebut tentunya akan berdampak ke neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang mempengaruhi devisa di dalam negeri, yang pada akhirnya mempengaruhi rupiah.

Sehingga bagaimana arah harga komoditas ke depannya, khususnya andalan ekspor Indonesia akan mempengaruhi pergerakan rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular