Makin Dekat Rp 15.000/US$, Rupiah Aman di Semester II?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
04 July 2022 13:15
Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Juni 2022
Foto: Pengumuman Hasil Rapat Dewan Gubernur Bulanan Bulan Juni 2022

Meski rupiah sudah mendekati Rp 15.000/US$, tetapi Bank Indonesia (BI) masih enggan mengeluarkan "senjata pamungkas", yakni suku bunga. Inflasi inti yang masih rendah menjadi alasan BI masih menahan suku bunganya acuannya di rekor terendah 3,5%.

"Inflasi inti rendah dan ruang BI untuk tidak buru-buru menaikkan suku bunga," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam rapat Banggar, Jumat (1/7/2022).

BI, lanjut Perry tetap fokus dalam menjaga pertumbuhan ekonomi. Dalam hal normalisasi BI telah menempuh kebijakan kenaikan Giro Wajib Minimum (GWM) secara progresif.

"Suku bunga kami pertahankan sampai ada kenaikan-kenaikan inflasi yang fundamental terutama inflasi inti," pungkasnya.

Berbeda dengan BI, bank sentral AS (The Fed) sangat agresif dalam menaikkan suku bunganya. Di semester I-2022 The Fed tiga kali menaikkan suku bunga, termasuk 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75% pada bulan lalu. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994.

Tidak hanya itu, di bulan ini The Fed juga berencana menaikkan suku bunga 50 - 75 basis poin, dan di akhir tahun suku bunga diproyeksikan di kisaran 3,25% - 3,5%.
Artinya, suku bunga BI dan The Fed akan sama di akhir tahun jika Perry dan kolega tidak menaikkannya.

Meski demikian, kinerja rupiah masih cukup bagus, pelemahannya menjadi salah satu yang terkecil di Asia sepanjang tahun ini.

Jika BI akhirnya menaikkan suku bunga dalam waktu dekat, bukan tidak mungkin rupiah akan menguat dan menjauhi Rp 15.000/US$.

Selain suku bunga, pergerakan harga komoditas akan mempengaruhi rupiah. Maklum saja, rupiah yang cukup stabil di tahun ini ditopang oleh pasokan valas dari surplus transaksi berjalan, berkat neraca perdagangan yang mencetak surplus 25 bulan beruntun.

Namun, harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) belakangan ini berbalik merosot. CPO bersama batu bara merupakan kontributor terbesar ekspor.

Harga CPO saat ini berada di kisaran 4.500 ringgit/ton, merosot lebih dari 37% dibandingkan akhir April lalu saat harganya berada di atas 7.200 ringgit/ton.

Penurunan harga tersebut tentunya akan berdampak ke neraca perdagangan dan transaksi berjalan yang mempengaruhi devisa di dalam negeri, yang pada akhirnya mempengaruhi rupiah.

Sehingga bagaimana arah harga komoditas ke depannya, khususnya andalan ekspor Indonesia akan mempengaruhi pergerakan rupiah.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular