Spekulan Borong Dolar Rp 22 Triliun, Rupiah Bakal Terpuruk?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 June 2022 14:50
Dollar
Foto: Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Ketidakpastian yang terus membayangi perekonomian global membuat aset-aset aman (safe haven) kembali menjadi buruan pelaku pasar. Kali ini, dolar Amerika Serikat (AS) yang banyak diincar. Sebabnya, selain menyandang status safe haven, bank sentral AS (The Fed) juga agresif menaikkan suku bunga acuannya di tahun ini.

Tanda-tanda pelaku pasar beralih ke dolar AS terlihat dari posisi beli bersih (net long) yang naik tajam. Data dari Commodity Futures Trading Commission (CFTC) menunjukkan posisi spekulatif net long dolar AS melonjak US$ 1,52 miliar atau sekitar Rp 22,5 triliun (kurs Rp 14.800/US$) dalam sepekan yang berakhir 21 Juni.

Kenaikan tersebut artinya para spekulan semakin banyak memborong dolar AS, ketimbang mata uang utama lainnya, yen, euro, poundsterling, franc dolar Kanada dan dolar Australia.

Kenaikan net long tersebut bisa menjadi indikasi dolar AS akan terus menguat.

Maklum saja, perekonomian dunia tercancam melambat, bahkan beberapa negara termasuk Amerika Serikat berisiko mengalami resesi.

Konsumen di AS kini pesimistis, Conference Board kemarin melaporkan tingkat keyakinan konsumen Juni merosot menjadi 98,7, dari bulan sebelumnya 103,3. Penurunan tersebut membawa tingkat keyakinan konsumen ke titik terendah dalam 16 bulan terakhir.

Angka di bawah 100 berarti konsumen pesimistis terhadap kondisi ekonomi, sebaliknya di atas 100 menunjukkan optimistis.

"Prospek konsumen semakin suram akibat kekhawatiran akan inflasi, khususnya kenaikan harga gas dan makanan. Ekspektasi kini turun ke bawah 80, mengindikasikan pertumbuhan yang lebih lemah di semester II-2022, begitu juga adanya peningkatan risiko resesi di akhir tahun," kata Lyyn Franco, direktur ekonomi Conference Board, sebagaimana dilansir CNBC International, Selasa (28/6/2022).

Saat tingkat keyakinan konsumen merosot, ekspektasi inflasi justru meroket. Conference Board menunjukkan ekspektasi inflasi dalam 12 bulan ke depan mencapai 8%, tertinggi sejak data mulai dikumpulkan pada Agustus 1987.

Tingginya ekspektasi inflasi tersebut membuat pasar melihat The Fed bisa semakin agresif dalam menaikkan suku bunga.  Seperti diketahui, The Fed pada bulan depan menyatakan akan kembali menaikkan suku bunga 50 - 75 basis poin. Dan di akhir tahun ini, suku bunga diperkirakan berada di 3,25% - 3,5%, naik 200 basis poin dari level saat ini.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Aman?

The Fed secara terang-terangan menyatakan akan agresif menaikkan suku bunga. Kinerja rupiah sejauh ini masih bagus, meski melemah tetapi dibandingkan mata uang Asia lainnya masih jauh lebih bagus.

Rupiah masih terbantu dengan surplus transaksi perdagangan akibat tingginya harga komoditas, serta inflasi di Indonesia yang masih terjaga.

Hingga bulan Mei, neraca perdagangan Indonesia tercatat surplus 25 bulan beruntun. Hal ini bisa membantu transaksi berjalan (current account) bisa mencetak surplus. Artinya, pasokan valuta asing akan mengalir ke dalam negeri, sehingga nilai tukar rupiah bisa lebih stabil.

Bank Indonesia (BI) juga memiliki cadangan devisa yang besar, sekitar US$ 135 miliar, sehingga mempunyai banyak "peluru" untuk menstabilkan rupiah ketika mengalami gejolak.

Selain itu, BI punya senjata pamungkas yang belum digunakan yakni suku bunga acuan BI 7 Day Reverse Repo Rate (BI7DRRR). BI sejauh ini masih enggan untuk menaikkan suku bunga sebab rupiah yang masih cukup bagus dan inflasi yang terjaga.

Dengan suku bunga terus ditahan di rekor terendah sepanjang sejarah 3,5%, BI bisa menjaga momentum pertumbuhan ekonomi.

Namun, ketika inflasi inti terus menanjak, BI membuka peluang kenaikan suku bunga. Jika itu terjadi, maka rupiah akan mendapat tenaga untuk menguat melawan dolar AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Next Page
Rupiah Aman?
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular