
Bursa Asia Ditutup Bergairah, Cuma Shanghai yang Gak Kompak

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas bursa Asia-Pasifik ditutup menguat pada perdagangan Selasa (21/6/2022), menandakan bahwa investor cenderung mulai kembali optimis pada hari ini.
Hanya indeks Shanghai Composite China yang ditutup di zona merah pada hari ini, yakni melemah 0,26% ke posisi 3.306,72.
Sedangkan sisanya berhasil ditutup di zona hijau. Indeks Nikkei Jepang ditutup melejit 1,84% ke 26.246,31, Hang Seng Hong Kong terbang 1,87% ke 21.559,59, ASX 200 Australia melonjak 1,41% ke 6.523,8, Straits Times Singapura menguat 0,68% ke 3.117,48, KOSPI Korea Selatan terapresiasi 0,75% ke 2.408,93, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat 0,97% ke 7.044,07.
Dari Australia, Gubernur bank sentral Australia (Reserve Bank of Australia/RBA), Philip Lowe mengatakan dalam pidatonya bahwa dia memperkirakan inflasi di Australia akan mencapai puncaknya sekitar 7% pada akhir tahun.
Seperti diketahui, RBA di bawah pimpinan Philip Lowe awal bulan ini kembali menaikkan suku bunga, bahkan sebesar 50 basis poin (bp) menjadi 0,85%.
Suku bunga tersebut merupakan yang tertinggi sejak September 2019, atau sebelum pandemi penyakit virus corona (Covid-19) melanda.
Kenaikan suku bunga tersebut lagi-lagi lebih tinggi dari hasil survei Reuters yang memperkirakan kenaikan sebesar 25 bp menjadi 0,6%.
Hal yang sama juga terjadi pada bulan lalu, saat menaikkan suku bunga untuk pertama kali sejak November 2010. Suku bunga dinaikkan 25 basis poin, lebih tinggi dari perkiraan pasar 15 basis poin.
Langkah agresif yang diambil RBA menunjukkan bagaimana inflasi bisa menjadi masalah besar bagi perekonomian, sehingga harus segera diredam.
Dalam notula yang dirilis hari ini, para anggota dewan melihat meski suku bunga dinaikkan 50 bp, tetapi masih cukup sangat rendah di bawah 1%, dengan tingkat pengangguran di level terlemah 50 tahun serta inflasi yang terus meninggi. Sehingga, suku bunga ke depannya akan kembali dinaikkan.
Lowe menyatakan meski suku bunga akan terus dinaikkan guna meredam inflasi dan membawanya kembali turun ke target 2-3%, ia tidak melihat perekonomian Australia akan mengalami resesi. Namun, ia tetap mengantisipasinya.
"2 tahun belakangan ini mengajarkan kita semua, Anda tidak bisa mengesampingkan apa pun," kata Lowe, sebagaimana dilansir The Guardian.
"Secara fundamental kita kuat, posisi sektor rumah tangga juga kuat, dunia usaha terus melakukan rekrutmen. Saya tidak merasa kita akan mengalami resesi, dan tingkat suku bunga meski sudah naik tetapi masih sangat rendah. Suku bunga masih di bawah 1% saat tingkat pengangguran di level terendah dalam 50 tahun terakhir," tambah Lowe.
Meski investor cenderung optimis pada hari ini, tetapi mereka masih menilai prospek kenaikan suku bunga acuan oleh bank sentral utama yaitu bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed) dan meningkatnya peluang resesi di Negeri Paman Sam.
Pekan lalu, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya sebanyak 75 bp dan menjadi kenaikan terbesar sejak 1994. Tidak hanya itu, bank sentral Inggris (Bank of England/BOE) juga mengadopsi tindakan yang agresif dan akan menaikkan suku bunganya selama lima pertemuan beruntun.
Sementara itu, bank sentral Eropa (Europe Central Bank/ECB) telah mengumumkan rencananya untuk membuat alat untuk mengatasi risiko fragmentasi wilayah Eropa untuk meredakan kekhawatiran terhadap krisis utang.
Namun berbeda di China, di mana pada Senin kemarin, bank sentral China (People Bank of China/PBoC) justru kembali mempertahankan suku bunga loan prime rate (LPR) tenor 1 tahun sebesar di 3,7%, sedangkan LPR tenor 5 tahun masih di 4,45%. Dipertahankannya suku bunga LPR diharapkan bisa membantu pemulihan ekonomi Negara Tirai Bambu.
Langkah PBoC untuk mempertahankan LPR juga dinilai sebagai upaya menghindari capital outflow karena selisih dengan The Fed tentunya tidak semakin menyempit.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(chd)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam
