
Ini 3 Fakta Nyata tentang Investasi Telkomsel ke GoTo

Mengacu pada paparan manajemen Telkom saat Rapat Panja, investasi Telkomsel ke Gojek (sebelum merger dengan Tokopedia) telah diusulkan dan dikaji sejak tahun 2018. Pertimbangan utamanya, Telkomsel harus berinvestasi di bisnis digital sebagai bentuk adaptasi terhadap perkembangan industri telekomunikasi global. Raksasa telco kelas dunia seperti AT&T dan Verizon agresif berinvestasi di bisnis digital selama 5 tahun terakhir.
Para raksasa ini dinilai sangat memahami industri telekomunikasi tidak lagi bisa bersandar dari bisnis masa lalu, seperti jualan SMS, paket data internet atau sambungan telepon rumah. Agar tetap relevan dan mampu memberikan nilai tambah kepada pelanggan, industri telco mesti berkolaborasi dan berinvestasi ke perusahaan digital masa kini.
"Disrupsi digital di industri telekomunikasi itu sangat nyata. Menghadapi situasi menantang seperti itu, kita tidak boleh sekadar bertahan. Kita harus cepat beradaptasi, berkolaborasi dan berinvestasi. Sebagai perusahaan teknologi nasional, dan pemain utama ekonomi digital, Gojek masuk dalam radar investasi kami," kata Ririek Adriansyah, Direktur Utama Telkom, dalam forum tersebut.
Tapi, rencana berinvestasi di Gojek di tahun 2018 urung dilakukan karena tiga alasan:
Pertama, model bisnis Gojek saat itu belum proven. Pada 2018, Gojek juga baru menyandang status unicorn atau perusahaan dengan kapitalisasi pasar di atas US$ 1 miliar. Namun, di tahun 2019, valuasi Gojek menembus angka US$ 10 miliar dan menjadi decacorn. Ketika meraih predikat decacorn dan menjadi superapp paling menjanjikan, Gojek menjadi buruan investor. Perubahan predikat dari unicorn menjadi decacorn ini juga turut mengubah cara pandang Telkomsel ke Gojek yang memang sudah naksir sejak 2018.
Kedua, regulasi terkait bisnis transportasi online dulu belum jelas. Telkomsel menilai bisnis Gojek baru akan sangat menarik apabila memiliki aturan yang jelas. Pada 2018, regulasinya belum ada dan Gojek menghadapi resistensi dari pemain industri transportasi eksisting. Dulu, Telkomsel menjadikan situasi ini sebagai alasan untuk tidak tergesa-gesa berinvestasi di Gojek.
Bisnis transportasi online baru memiliki payung hukum yang jelas ketika terbit Permenhub Nomor 12 Tahun 2019 dan Kepmenhub Nomor KP 348 Tahun 2019. Kedua beleid tersebut mengatur secara detail dan rinci mengenai ketentuan bisnis dan perlindungan keselamatan transportasi online. Setelah Permenhub dan Kepmenhub terbit pada 2019, Telkomsel menjadi lebih percaya diri untuk melanjutkan kembali rencana investasi di Gojek.
Ketiga, pada 2018, sinergi Gojek dengan Telkomsel belum terbayang detailnya. Saat itu, manfaat investasi hanya sebatas capital gain. Tapi, setelah 2019, ketika transportasi online memiliki payung hukum yang jelas, Gojek naik kelas menjadi decacorn dan lini bisnis makin lengkap terutama di bisnis finansial, tujuan investasi di Gojek lebih dari sekadar cari cuan. Telkomsel melihat banyak peluang kerjasama bisnis yang bisa disinergikan dengan ekosistem Gojek.
Jadi, publik selama ini banyak yang belum tahu, rencana investasi di Gojek telah dipertimbangkan sejak 2018 jika mengacu pada paparan Telkom pada Rapat Panja tersebut. Rencana tersebut mengalami fase naik turun, mengikuti perkembangan bisnis dan situasi dari regulasi industri transportasi online. Masa masa galau para pengambil keputusan di Telkomsel berakhir ketika Gojek menjadi decacorn, superapp dan terbit regulasi industri transportasi online.
"Dari pemaparan direksi Telkom dan Telkomsel di Panja, kita bisa melihat sendiri keputusan investasi di Gojek tidak ujug-ujug. Dirancang jauh sebelum Erick Thohir menjabat. Semuanya dipertimbangkan dengan sangat matang dan murni keputusan bisnis yang profesional dan kredibel. Jadi, siapapun Meneg BUMN nya, atau siapapun Komut Gojek, investasi Telkomsel di perusahaan digital seperti Gojek adalah keniscayaan," kata Piter Abdullah, Pengamat Ekonomi Politik CORE Indonesia.