Jeblok! Rupiah Catat Kinerja Terburuk Sejak Juni 2020
Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah terpuruk lagi melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (17/6/2022). Dengan demikian rupiah sudah melemah dalam 5 hari beruntun.
Melansir data Refinitiv begitu perdagangan dibuka rupiah langsung jeblok 0,37% ke Rp 14.820/US$. Rupiah kemudian bergerak volatil, depresiasi rupiah bertambah menjadi 0,44% ke Rp 14.830/US$ yang merupakan level terlemah sejak Oktober 2020.
Rupiah sempat berbalik menguat 0,3% ke Rp 14.720/US$, tetapi hanya sesaat dan melemah lagi. Di penutupan perdagangan, rupiah berada di Rp 14.821/US$, atau melemah 0,38% di pasar spot. Dalam sepekan, rupiah merosot sekitar 1,8%, menjadi pelemahan mingguan terbesar sejak Juni 2020.
Bank sentral AS (The Fed) yang menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin, terbesar sejak 1994, menjadi 1,5% - 1,75% awalnya direspon positif oleh pasar finansial global. Kamis pagi kemarin rupiah pun sempat menguat cukup tajam sebelum akhirnya melemah.
Bank sentral paling powerful di dunia ini semakin agresif dalam menaikkan suku bunga.
The Fed di bulan depan juga akan menaikkan suku bunga 50 - 75 basis poin, dan di akhir tahun akan berada di kisaran 3,25% - 3,5%
Semakin tinggi suku bunga maka risiko resesi Amerika Serikat akan semakin meningkat. Tetapi, resesi yang sesaat masih lebih bagus ketimbang jika inflasi tinggi mendarah daging yang bisa menggerogoti perekonomian dalam jangka waktu yang lama. Sehingga, keputusan The Fed untuk agresif menaikkan suku bunga demi meredam inflasi disambut baik pelaku pasar.
Namun, kini banyak analis yang menyangsikan langkah yang diambil The Fed tepat. Pernyataan dari ketua The Fed Jerome Powell juga dikatakan berbeda dengan kenyataan di lapangan yang membuat bursa saham AS (Wall Street) ambrol pada perdagangan Kamis waktu setempat.
Indeks Dow Jones jeblok hingga 2,4%, S&P 500 3,25%, dan Nasdaq merosot lebih dari 4%.
Jebloknya kiblat bursa saham dunia tersebut bisa memberikan sentimen negatif ke pasar Asia, yang membuat rupiah tertekan.
"Apa yang dikhawatirkan pasar, bahkan sebelum terjadi resesi adalah kebijakan yang salah, bahwa The Fed merusak sesuatu. Pasar mempertanyakan pernyataan perekonomian yang dikatakan kuat," kata Quincy Krosby, kepala ahli strategi ekuitas di LPL Financial, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (16/5/2022).
Powell sebelumnya menyatakan tidak melihat tanda-tanda pelambatan ekonomi yang luas. Namun, data berkata lain. Dari sektor perumahan pada Mei terjadi penurunan pembangunan rumah hingga 14,4%, padahal saat ini di Amerika Serikat sedang terjadi kelangkaan rumah bahkan dikatakan pada level kronis.
Kemudian sektor manufaktur di wilayah Philadelpiha kembali mengalami kontraksi, pengajuan klaim tunjangan pengangguran mingguan juga lebih tinggi dari perkiraan.
Kemudian dengan inflasi yang mencapai level tertinggi 41 tahun, tingkat keyakinan konsumen menjadi merosot, dan penjualan ritel turun 0,3% pada Mei dari bulan sebelumnya.
Ketika tingkat keyakinan konsumen merosot, maka belanja rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian juga akan menurun. Hal ini berdampak buruk pada perekonomian Amerika Serikat.
Powell juga dikatakan "mencla-mencle" dalam beberapa kesempatan, yang membuat pasar semakin khawatir kebijakan yang diambil salah.
Ketua The Fed dua periode ini sebelumnya mengatakan tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengendalikan inflasi energi dan harga makanan, tetapi menyarankan akan terus menaikkan suku bunga hingga harga gas turun.
Kemudian ekspektasi inflasi yang sebelumnya masih cukup bagus. Tetapi kenaikan suku bunga sebesar 75 basis poin dikatakan sebagai akibat naiknya ekspektasi inflasi.
"Pernyataan Powell membingungkan, kurang percaya diri, dan menaikkan risiko makroekonomi dan stabilitas finansial," tulis Bespoke Investment Group dalam sebuah catatan ke nasabahnya yang dikutip CNBC International.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)