Naik 3% Dalam 2 Hari, Dolar Australia Akhirnya Turun

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Jumat, 17/06/2022 15:25 WIB
Foto: Ilustrasi dolar Australia (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Australia melemah melawan rupiah pada perdagangan Jumat (17/6/2022) setelah melesat lebih dari 3% dalam 2 hari terakhir. Kenaikan tajam tersebut, ditambah dengan sentimen pelaku pasar yang memburuk membuat dolar Australia terkoreksi.

Pada pukul 13:49 WIB, dolar Australia diperdagangkan di kisaran Rp 10.341/AU$, melemah 0,56% di pasar spot, melansir data Refinitiv.

Dolar Australia dianggap sebagai risk-on currency, artinya ketika sentimen pelaku pasar membaik, maka nilainya cenderung menguat. Begitu juga sebaliknya.


Sentimen pelaku pasar saat ini sedang memburuk akibat kebijakan bank sentral Amerika Serikat (The Fed) yang menaikkan suku bunga 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%.

Bank sentral paling powerful di dunia ini semakin agresif dalam menaikkan suku bunga.

The Fed di bulan depan juga akan menaikkan suku bunga 50 - 75 basis poin, dan di akhir tahun akan berada di kisaran 3,25% - 3,5%.

Banyak analis kini menyangsikan langkah yang diambil The Fed tepat. Pernyataan dari ketua The Fed Jerome Powell juga dikatakan berbeda dengan kenyataan di lapangan.

"Apa yang dikhawatirkan pasar, bahkan sebelum terjadi resesi adalah kebijakan yang salah, bahwa The Fed merusak sesuatu. Pasar mempertanyatakan pernyataan perekonomian yang dikatakan kuat," kata Quincy Krosby, kepala ahli strategi ekuitas di LPL Financial, sebagaimana dilansir CNBC International, Kamis (16/5/2022).

Powell sebelumnya menyatakan tidak melihat tanda-tanda pelambatan ekonomi yang luas. Namun, data berkata lain. Dari sektor perumahan pada Mei terjadi penurunan pembangunan rumah hingga 14,4%, padahal saat ini di Amerika Serikat sedang terjadi kelangkaan rumah bahkan dikatakan pada level kronis.

Kemudian sektor manufaktur di wilayah Philadelpiha kembali mengalami kontraksi, pengajuan klaim tunjangan pengangguran mingguan juga lebih tinggi dari perkiraan.
Kemudian dengan inflasi yang mencapai level tertinggi 41 tahun, tingkat keyakinan konsumen menjadi merosot, dan penjualan ritel turun 0,3% pada Mei dari bulan sebelumnya.

Ketika tingkat keyakinan konsumen merosot, maka belanja rumah tangga yang merupakan tulang punggung perekonomian juga akan menurun. Hal ini berdampak buruk pada perekonomian Amerika Serikat.

Powell juga dikatakan "mencla-mencle" dalam beberapa kesempatan, yang membuat pasar semakin khawatir kebijakan yang diambil salah.

Ketua The Fed dua periode ini sebelumnya mengatakan tidak banyak yang bisa dilakukan untuk mengendalikan inflasi energi dan harga makanan, tetapi menyarankan akan terus menaikkan suku bunga hingga harga gas turun.

Kemudian ekspektasi inflasi yang sebelumnya masih cukup bagus. Tetapi kenaikan suku bunga sebesar 75 basis poin dikatakan sebagai akibat naiknya ekspektasi inflasi.
"Pernyataan Powell membingungkan, kurang percaya diri, dan menaikkan risiko makroekonomi dan stabilitas finansial," tulis Bespoke Investment Group dalam sebuah catatan ke nasabahnya yang dikutip CNBC International.

Rupiah sebenarnya juga mengalami tekanan, tetapi mengingat dolar Australia naik tajam dalam 2 hari terakhir tentunya diterpa aksi ambil untung (profit taking), yang membuatnya terkoreksi.

TIM RISET CNBC INDONESIA 


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: IHSG Menguat, Pasar Modal RI Masih Jadi Pilihan Investor