3 Hari Melesat 1,5%, Kurs Dolar Singapura Akhirnya Turun Juga
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Singapura sudah melesat dalam 3 hari beruntun melawan rupiah hingga Rabu kemarin. Total penguatannya tercatat sebesar 1,5%. Pada perdagangan Kamis (16/6/2022), mata uang Negeri Merlion ini akhirnya turun juga.
Pada pukul 10:53 WIB dolar Singapura diperdagangkan di kisaran Rp 10.608/SG$, melemah 0,22% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Sentimen pelaku pasar yang membaik pasca pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (The Fed) membuat rupiah mampu bangkit.
The Fed pada dini hari tadi menaikkan suku bunga sebesar 75 basis poin menjadi 1,5% - 1,75%. Kenaikan tersebut menjadi yang terbesar sejak 1994, sesuai dengan ekspektasi pasar, tetapi lebih besar dari niat The Fed bulan lalu sebesar 50 basis poin.
"Jelas kenaikan 75 basis poin hari ini merupakan salah satu yang terbesar dan tidak biasa, saya tidak melihat langkah seperti ini adalah sesuatu yang biasa," kata Powell sebagaimana dilansir CNBC International.
Di Juli, Powell mengatakan akan menaikkan lagi suku bunga antara 50 sampai 75 basis poin, dan akan selalu mengkomunikasikanya dengan sejelas mungkin.
Meski demikian pasar menyambut baik keputusan tersebut, terlihat dari penguatan bursa saham Amerika Serikat dan berlanjut ke Asia pagi ini.
The Fed yang menunjukkan niat yang kuat untuk menurunkan inflasi, membuat pasar gembira.
Jumat pekan lalu inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di Amerika Serikat (AS) pada Mei 2022 tercatat melesat 8,6% year-on-year (yoy). Inflasi tersebut naik dari bulan sebelumnya 8,3% (yoy) dan menjadi rekor tertinggi sejak 1981.
Inflasi CPI di Amerika Serikat sepertinya masih akan terus tinggi dalam beberapa waktu ke depan. Hal ini tidak lepas dari inflasi produsen (producer price index/PPI) yang masih tinggi. Ketika inflasi produsen tinggi, maka harga juga ke konsumen akan meningkat. Hal ini akan berdampak pada inflasi CPI.
Biro Statistik AS Selasa lalu melaporkan PPI di bulan Mei tumbuh 0,5% month-to-month (mtm), dan 10,8% (yoy). PPI secara tahunan sebenarnya sudah turun dalam dua bukan beruntun, tetapi masih dekat rekor tertinggi sepanjang masa 11,5% (yoy) yang tercatat pada Maret lalu.
Dengan suku bunga yang dikerek semakin tinggi, diharapkan inflasi tersebut akan menurun.
Memang risiko semakin tinggi suku bunga maka risiko resesi semakin meningkat. Tetapi, resesi yang sesaat masih lebih bagus ketimbang jika inflasi tinggi mendarah daging yang bisa menggerogoti perekonomian dalam jangka waktu yang lama.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)