Duh! Wall Street Longsor Lagi, Bursa Asia Dibuka Ambruk

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
14 June 2022 08:53
An electronic board shows Hong Kong share index outside a local bank in Hong Kong, Wednesday, Jan. 16, 2019. Asian markets are mixed as poor Japanese data and worries about global growth put a damper on trading. (AP Photo/Vincent Yu)
Foto: Bursa Hong Kong (AP Photo/Vincent Yu)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Asia-Pasifik kembali dibuka di zona merah pada perdagangan Selasa (14/6/2022), menyusul kembali ambruknya bursa saham Amerika Serikat (AS) karena investor khawatir bahwa potensi resesi di AS semakin membesar jelang pertemuan bank sentral AS pada pekan ini.

Indeks ASX 200 Australia menjadi yang paling parah koreksinya pada pagi hari ini, yakni dibuka ambruk 5%, setelah pada perdagangan Senin kemarin tidak dibuka karena adanya libur nasional.

Sedangkan indeks Nikkei Jepang dibuka ambles 1,55%, Hang Seng Hong Kong ambrol 1,48%, Shanghai Composite China merosot 0,88%, Straits Times Singapura terkoreksi 0,86%, dan KOSPI Korea Selatan anjlok 1,45%.

Investor di Asia-Pasifik masih cenderung khawatir dengan potensi kembali diperketatnya karantina wilayah (lockdown) di beberapa kota di China, utamanya di Shanghai dan Beijing.

Pada pekan lalu, sebagian besar Shanghai kembali dikunci karena ditemukan kasus baru Covid-19 bergejala. Setidaknya orang-orang di tiga wilayah dilarang bepergian selama beberapa hari guna tes massal Covid-19.

Hal itu pun kini terjadi lagi di Beijing. Pemerintah distrik Chaoyang bahkan kembali melakukan tes Covid-19 kepada para warganya, setelah penemuan sebuah kluster penularan Covid-19 di sebuah bar di wilayah Sanlitun.

Dalam sebuah keterangan, pejabat kesehatan kota mengatakan bahwa sejauh ini ada 166 kasus yang dikonfirmasi terkait dengan wabah yang dimulai di bar bernama Heaven Supermarket. Dari jumlah itu, 145 di antaranya adalah pelanggan bar.

"Saat ini, risiko penyebaran lebih lanjut masih ada. Tugas paling mendesak saat ini adalah melacak sumber cluster dan juga mengelola dan mengendalikan risiko," kata juru bicara pemerintah kota Beijing, Xu Hejian seperti dikutip Channel News Asia, Senin (13/6/2022) kemarin.

China sendiri sejauh ini masih berperang dengan wabah terbaru Covid-19. Pemerintah Negeri Tirai Bambu itu juga masih menerapkan penguncian nol-Covid yang memungkinkan sebuah kota dikunci penuh meski hanya ada satu kasus Covid-19 di wilayah itu.

Komisi Kesehatan Nasional China mengatakan pada hari Minggu lalu bahwa negara itu melaporkan 275 kasus Covid-19 baru untuk 11 Juni, di mana 134 di antaranya bergejala dan 141 tidak menunjukkan gejala. Untuk kematian, tidak ada kasus baru.

Sementara itu, dalam data hari Sabtu lalu, China telah mengkonfirmasi 224.781 kasus dengan gejala. Angka kematian berada di level 5.226.

Bursa Asia-Pasifik yang cenderung kembali terkoreksi menyusul kembali ambruknya bursa saham AS, Wall Street pada perdagangan Senin kemarin waktu setempat.

Indeks Dow Jones Industrial Average (DJIA) ditutup ambruk 2,79% ke posisi 30.516,74, S&P 500 anjlok 3,88% ke 3.749,63, dan Nasdaq Composite longsor 4,68% ke 10.809,22.

Investor makin khawatir bahwa potensi resesi di AS semakin membesar jelang pertemuan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada pekan ini.

Ketiga indeks utama Wall Street menyentuh titik terendah barunya setelah Wall Street Journal (WSJ) memproyeksikan bahwa The Fed akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 0,75%, lebih dari setengah persentase seperti yang diharapkan pasar.

Investor juga merespons negatif dari naiknya kembali imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS (US Treasury) pada perdagangan kemarin, di mana yield Treasury 1 tahun hingga 30 tahun kini sudah berada di kisaran 3%.

Kemarin, yield Treasury tenor 10 tahun naik lebih dari 20 basis poin (bp) ke 3,3%, karena investor bertaruh bahwa The Fed akan lebih agresif untuk mengendalikan inflasi. Sedangkan yield Treasury berjangka pendek yakni tenor 2 tahun naik 30 bp ke 3,3%.

Lonjakan yield obligasi jangka pendek meningkatkan sentimen negatif di tengah buruknya situasi psikologis investor akibat inflasi yang kembali memanas jelang pertemuan The Fed pada akhir pekan ini.

Sebagian dari kerugian itu terjadi pada Jumat pekan lalu, setelah Indeks Harga Konsumen (IHK) AS per Mei 2022 dilaporkan sebesar 8,6% secara tahunan (year-on-year/yoy), menjadi yang terpanas sejak Desember 1981. Inflasi inti yang tak memasukkan harga makanan dan energi juga di atas perkiraan sebesar 6%.

Harga bahan bakar minyak (BBM) di AS melonjak ke US$ 5/galon pada pekan lalu, kian mengipasi ketakutan atas inflasi dan jatuhnya kepercayaan konsumen. Bitcoin pun drop di bawah US$ 24.000 per keping dan menyentuh level terendah sejak Desember 2020.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(chd/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Perdagangan Perdana di 2024, Bursa Asia Dibuka Beragam

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular