Harga Bensin di Amerika Tertinggi Sepanjang Masa!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 June 2022 07:49
BBM habis di AS
Foto: Seorang pelanggan melihat tulisan tangan yang dipasang di pompa bensin, menunjukkan bahwa pom bensin kehabisan bahan bakar. Rabu, 12 Mei 2021, di Charlotte, NC. (AP / Chris Carlson)

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak dunia bergerak melemah pada perdagangan hari ini. Kekhawatiran seputar risiko penurunan permintaan akibat perlambatan ekonomi membebani harga si emas hitam.

Pada Selasa (14/6/2022) pukul 06:58 WIB, harga minyak jenis brent tercatat US$ 121,84/barel. Berkurang 0,14% dari posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.

Sementara yang jenis light sweet harganya US$ 120,59/barel. Turun 0,07%.

Kekhawatiran investor terhadap risiko penurunan konsumsi membebani harga minyak. Di Amerika Serikat (AS), inflasi pada Mei 2022 mencapai 8,6% year-on-year (yoy). Ini adalah rekor tertinggi sejak 1981 atau 41 tahun.

Harga energi membuat inflasi meninggi. Inflasi komponen energi tercatat 34,6% yoy, tertinggi sejak 2005. Penyebabnya adalah kenaikan harga bensin, gas, dan listrik.

Akhir pekan lalu, rata-rata harga bensin reguler di Negeri Paman Sam berada di atas US$ 5/galon, tepatnya US% 5,004/galon. Ini adalah yang tertinggi sepanjang sejarah.

Jika dikonversi ke rupiah per liter, maka harga bensin di AS adalah Rp 19.395,17/liter. Sebagai perbandingan, harga BBM jenis Pertamax Turbo (RON 98) adalah Rp 13.500/liter. 

Apabila harga bensin terus tinggi, dikhawatirkan konsumsi akan berkurang. Akibatnya, harga minyak tentu terpengaruh.

"Saat ini permintaan memang masih kuat. Namun jika harga bensin tidak kunjung stabil, maka konsumen tentu akan mengurangi konsumsi," kata Phil Flynn, Analis Price Futures, seperti dikutip dari Reuters.

Halaman Selanjutnya --> Covid-19 Mengancam, China Mencekam

Selain AS, konsumsi di China juga dikhawatirkan bakal berkurang. Setelah euforia dicabutnya karantina wilayah (lockdown) di Shanghai, ternyata kabar gembira itu tidak bertahan lama. Distrik Minhang di Shanghai kembali memberlakukan lockdown akibat kenaikan kasus positif Covid-19.

Di ibukota Beijing, situasi juga mencekam. Chaoyang, distrik paling padat di Beijing, menggelar tes massal untuk memisahkan populasi yang sakit dari populasi yang sehat.

"Kita tidak tahu apa yang akan terjadi di China. Kondisinya sangat tidak pasti," lanjut Flynn.

Pemerintahan Presiden Xi Jinping memang tidak main-main soal Covid-19. China masih menganut kebijakan tanpa toleransi (zero tolerance) terhadap Covid-19. Begitu ada kluster penularan, langsung lockdown.

"Iklim usaha di China belum kondusif meski sejumlah kota sudah dibuka kembali, karena kebijakan zero Covid-19. Setiap pagi, masyarakat tidak tahu apakah lockdown kembali berlaku," tegas Christophe Lauras, Presiden Kamar Dagang Prancis untuk China, sebagaimana diwartakan Reuters.

Masalahnya, China adalah konsumen minyak terbesar dunia setelah AS. Lockdown tentu akan membuat aktivitas dan mobilitas warga Negeri Panda berkurang, sehingga menurunkan permintaan energi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular