Biar Paham! Ini 5 Biang Kerok yang Buat Harga Minyak Mendidih

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
10 June 2022 16:25
Oil pump silhouette at night.
Foto: kotkoa / Freepik

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga komoditas minyak mentah di pasar internasional masih mengalami gejolak. Sampai pada Jumat (10/6/2022) harga minyak mentah dunia jenis Brent berada di level US$ 122,2 per barel. Diprediksi harga minyak mentah yang tinggi masih akan bertahan lama.

Tingginya harga minyak mentah dunia itu tak bisa lepas dari beberapa faktor. Diantaranya terdapat lima faktor yang menjadi penyebab harga minyak dunia masih akan tetap tinggi, yakni perang Rusia dan Ukraina, berkurangnya pasokan minyak dunia, strategi Uni Eropa berubah ke energi terbarukan, berkembangnya kendaraan listrik dan persaingan antara pemenuhan kebutuhan pangan atau kebutuhan energi untuk biofuel.

Kelima faktor yang menjadi biang kerok tingginya harga minyak mentah dunia ini dijelaskan oleh mantan Menteri dan juga Wakil Menteri ESDM, Arcandra Tahar.

Arcandra Tahar menilai selepas kasus harian Covid-19 melandai, dunia kini menghadapi tantangan lain, yakni kenaikan harga komoditas energi di pasar internasional.

Sejumlah lembaga ekonomi dunia menurutnya bahkan memprediksi harga minyak yang saat ini berkisar antara US$ 110 - US$ 120 per barel, masih berpotensi melonjak lebih tinggi.

Goldman Sachs misalnya, mereka menaksir rata-rata harga minyak Brent pada semester II 2022 hingga semester I 2023 akan berkisar US$ 135 per barel. Perusahaan minyak dunia juga memperkirakan potensi kenaikan minyak dunia masih bisa naik sekitar US$ 10 per barel dari harga rata-rata saat ini.

"Apakah prediksi tersebut tepat? Seperti yang selalu kami sampaikan, tidak ada satu pihak, baik individu, perusahaan dan negara di dunia yang bisa memastikan harga minyak akan berada di level berapa," ujar Arcandra seperti dikutip dari akun Instagramnya, Jumat (10/6/2022).

Namun demikian, menurut Komisaris Utama Perusahaan Gas Negara (PGN) ini ada lima faktor yang bisa mendorong harga minyak dunia akan tetap tinggi tahun ini. Di antaranya yakni sebagai berikut:

Pertama, perang Rusia-Ukraina telah menyebabkan pasokan minyak ke pasar global berkurang. Sebagai produsen minyak nomor tiga terbesar di dunia, selama ini Rusia memasok sekitar 11% dari kebutuhan minyak dunia.

Adapun dari pasokan tersebut, sekitar 4% digunakan untuk ekspor ke negara lain. Akibat perang tersebut, Rusia dikenakan sanksi untuk tidak mengekspor minyak mentahnya. Kalaupun ada, tentunya tidak melalui mekanisme pasar wajar dan jumlahnya terbatas.

Terhentinya ekspor minyak Rusia ini juga akan menjadi persoalan tersendiri. Pasalnya, tidak mudah untuk menghentikan produksi dari lapangan yang sedang berproduksi.

Sebab dalam banyak pengalaman, ketika sebuah lapangan dihentikan operasinya, selain butuh biaya mahal untuk memulai kembali kegiatan produksi, kemungkinan produksi minyak turun sangat terbuka. Inilah yang menjadi tantangan Rusia saat ini.

Selain itu, sanksi yang dikenakan ke Rusia ini juga berakibat pada berkurangnya kegiatan drilling, tertundanya berbagai inisiatif atau project untuk menaikkan produksi dan berkurangnya akses terhadap peralatan dan teknologi.

"Dapat dibayangkan ketika nanti krisis Rusia-Ukraina berakhir, produksi minyak Rusia bisa anjlok sementara kebutuhan minyak meningkat, maka harga minyak dunia bisa lebih tidak terkendali lagi," kata dia.

Kedua, berkurangnya produksi minyak di negara-negara berkembang. Ini adalah dampak dari kebijakan perusahaan minyak dari Amerika Serikat (AS) yang mengkonsolidasikan asetnya ke dalam negeri dan juga kebijakan dekarbonisasi yang membuat ongkos produksi jadi naik.

Itulah sebabnya beberapa proyek migas milik Chevron, Exxon dan ConocoPhillips di banyak negara berkembang dijual, seperti di Nigeria, Thailand, Indonesia dan Malaysia.

Selain faktor optimalisasi produksi yang fokus ke lapangan dengan sumber migas besar, perusahaan migas AS juga mulai mengantisipasi dampak pemberlakukan pajak karbon di sejumlah negara.

"Bagaimanapun pajak karbon akan menjadi beban tambahan bagi perusahaan migas, walaupun akhirnya biaya itu akan kembali dibebankan kepada konsumen," ujarnya.

Menurut Arcandra akibat konsolidasi perusahaan minyak AS tersebut, sudah pasti produksi minyak di lapangan yang mereka tinggalkan di negara-negara berkembang akan menurun. Peralihan ke operator baru tidak serta merta akan mampu menjaga produksi minyak tetap sama. Faktor kemampuan manusia, teknologi dan dana kata dia akan sangat menentukan.

Ketiga, strategi Uni Eropa yang beralih ke Renewable Energy mengakibatkan banyak lapangan migas di Laut Utara yang mestinya masih bisa ditingkatkan produksinya dibiarkan beroperasi apa adanya. Padahal tanpa investasi yang sungguh-sungguh untuk menahan penurunan laju produksi, mustahil kebutuhan minyak dunia terbantu dari produksi minyak di lapangan Laut Utara.

Kondisi ini diperparah oleh semakin susahnya mendapatkan akses pendanaan dari lembaga keuangan dunia dan investor yang secara ketat mensyaratkan ESG (Environmental, Social and Governance) yang lebih terencana.

Satu hal lagi yang menjadi kendala perusahaan migas di Eropa adalah, mahalnya biaya untuk mendapatkan lapangan eksplorasi yang ditawarkan oleh beberapa negara, seperti di offshore UK.

"Akibatnya kegiatan eksplorasi untuk menemukan cadangan migas baru menjadi sangat rendah dan harapan akan produksi dari Laut Utara untuk memenuhi kebutuhan minyak dunia semakin pudar," kata Arcandra.

Faktor keempat yang mendorong naik harga minyak dunia adalah harapan akan kendaran listrik (EV) secara cepat dapat menggantikan kendaran berbahan bakar fosil (ICE) belum terwujud. Banyak hal yang menjadi penyebab kenapa penetrasi EV belum bisa masif.

Beberapa diantaranya adalah terbatasnya raw material untuk baterai, pembangunan charging station yang masih terbatas dan kekurangan chip yang sangat dibutuhkan untuk komponen elektronik mobil listrik.

Faktor kelima, persaingan antara pemenuhan kebutuhan pangan atau kebutuhan energi untuk biofuel. Akibat perang Rusia-Ukraina, bahan dasar untuk produksi biofuel dialihkan untuk pangan, biofuel yang diharapkan akan menggantikan fossil fuel belum bisa sepenuhnya diandalkan.

"Akibatnya kebutuhan dunia ke depan akan fossil fuel akan tetap tinggi. Ini tentu akan mendorong harga minyak dunia naik," kata dia.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Sedih! Krisis Perbankan di AS Bikin Harga Minyak Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular