Batu Bara & CPO Bakal Bye, 'Harta Karun' Ini Jadi Andalan RI

Maesaroh, CNBC Indonesia
08 June 2022 16:55
Daftar Konglomerat yang Makin Tajir Gegara Batu Bara
Foto: infografis/Daftar Konglomerat yang Makin Tajir Gegara Batu Bara/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Kenaikan harga komoditas diperkirakan masih bisa dinikmati Indonesia hingga 2023. Indonesia juga memiliki harta karun berupa nikel yang bisa melonjak harganya dalam dua dekade ke depan.

Perang Rusia-Ukraina yang meletus pada 24 Februari lalu membawa berkah bagi Indonesia dalam bentuk kenaikan harga komoditas energi. Di saat negara lain pusing karena kenaikan komoditas batu bara hingga minyak nabati, pemerintah Indonesia justru mendapatkan tambahan penerimaan sebesar Rp 420 triliun dari kenaikan komoditas pada tahun ini.

Berkah komoditas kemungkinan masih bisa dinikmati Indonesia di tahun depan, meskipun tidak akan sebesar tahun ini. Penurunan penerimaan disebabkan melandainya harga sejumlah komoditas andalan Indonesia seperti minyak sawit mentah (CPO) dan batu bara.



Ekonom Citibank Indonesia Helmi Arman mengatakan secara keseluruhan booming komoditas berdampak positif terhadap perekonomian Indonesia.

Indonesia memang mengimpor minyak mentah dalam jumlah besar tetapi secara keseluruhan Indonesia membukukan net ekspor dalam perdagangan komoditas energi.

Dia menjelaskan windfall atau keuntungan dari booming komoditas paling banyak dinikmati oleh perusahaan. Negara juga diuntungkan karena penerimaan yang meningkat. Namun, masyarakat kecil justru hanya menikmati sedikit bahkan cenderung dirugikan dari kenaikan komoditas karena inflasi melonjak.

Berdasarkan hitungan Citibank Indonesia, booming komoditas akan menambah cash inflow perusahaan sebesar 1,5% sehingga mampu mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 0,5%.

Namun, kenaikan komoditas membuat cash masyarakat berkurang 0,4% karena lonjakan inflasi. Kondisi tersebut menurunkan pertumbuhan ekonomi hingga 0,2%.

Dampak kenaikan harga komoditas terhadap ekonomi IndonesiaFoto: ADB
Dampak kenaikan harga komoditas terhadap ekonomi Indonesia


Helmi menjelaskan keuntungan booming komoditas yang diterima perusahaan ataupun negara diputar ke dalam sektor lain yang menggerakkan ekonomi.

Tambahan keuntungan negara juga membantu pemerintah untuk memberikan subsidi guna melindungi masyarakat dari dampak kenaikan harga energi. Karena itulah, secara keseluruhan Indonesia masih diuntungkan oleh kenaikan komoditas.

Helmi memperkirakan sebagian besar komoditas kemungkinan akan mengalami penurunan harga. Kecuali minyak mentah, harga komoditas seperti batu bara dan CPO akan melandai setelah meroket di kuartal I tahun ini.

Penurunan harga ini tentu saja akan berdampak besar terhadap penerimaan negara. "Penerimaan negara dari komoditas juga akan menurun. Namun, pemerintah juga akan mengurangi pengeluaran dalam jumlah besar untuk penanganan Covid serta subsidi sehingga defisit di bawah 3% masih dimungkinkan," tutur Helmi dalam diskusi Asian Development Bank's Commodity Outlook, Rabu (8/6/2022).

Dia menjelaskan harga batu bara kemungkinan akan melandai karena China meningkatkan produksinya.

Peningkatan produksi akan membuat permintaan impor batu bara dari China melemah sehingga harga pun melandai. China tengah mengejar produksi batu bara sebesar 300 juta ton per bulan atau 4,4 miliar ton di tahun 2022.

Produksi batu bara China mencapai 1,45 miliar on di Januari-April, 11% lebih tinggi dibandingkan periode yang sama lama tahun sebelumnya.

Kenaikan produksi tersebut menekan impor batu hitam. China mengimpor batu bara sebanyak 75,41 juta ton pada Januari-April 2022, turun 16% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Penurunan harga batu bara akan membuat penerimaan negara dari royalti turun. Dalam catatan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), penerimaan negara dari royalti tambang, termasuk batu bara hingga 8 Juni mencapai Rp 25,62 triliun. Penerimaan tersebut sudah melewati pencapaian tahun 2020 (Rp 20,75 triliun).



Indonesia mungkin akan kehilangan penerimaan besar dari komoditas batu bara dan CPO di tahun depan. Namun, Indonesia masih memiliki komoditas andalan untuk mendongkrak penerimaan, yakni nikel.

Dalam diskusi yang sama, analis komoditas dari Dana Moneter Internasional (IMF) Martin Stuermer mengatakan nikel akan menjadi primadona di masa depan.

Harga nikel diperkirakan akan bertahan tinggi setidaknya dalam dua dekade ke depan karena transisi energi dari fosil ke energi ramah lingkungan.

Nikel merupakan komponen penting dalam pembuatan baterai kendaraan listrik sehingga permintaannya diperkirakan kan meningkat tajam seiring kenaikan produksi kendaraan listrik.

Total nilai produksi nikel pada 2040 diperkirakan akan menembus US$ 4,2 triliun, melonjak tajam dari US$ 0,6 triliun di tahun 2018.

 

Proyeksi harga nikelFoto: ADB
Proyeksi harga nikel

Indonesia merupakan negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia. Berdasarkan data USGS pada Januari 2020 dan Badan Geologi 2019, mengutip dari Booklet Nikel yang dirilis Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) 2020, jumlah cadangan nikel RI tercatat mencapai 72 juta ton nikel (termasuk nikel limonite/ kadar rendah). Jumlah ini mencapai 52% dari total cadangan nikel dunia sebesar 139.419.000 ton nikel.

"Komoditas logam seperti nikel akan berperan penting dalam upaya memenuhi net zero emissions. Konsumsi nikel bisa naik tiga kali lipat dalam 20 tahun ke depan," tutur Martin.

Martin memperkirakan harga nikel bisa saja melonjak menjadi US$ 40.000 per ton, jauh lebih tinggi daripada yang tercatat sekarang. Pada Selasa (7/6/2022) pukul 16.00 WIB harga nikel dunia tercatat US$ 28.875/ton.

Dia mengatakan target emisi tentu saja akan mengalami persoalan atau maju mundur karena investasi di energy bersih bisa saja bermasalah. Namun, ketidakpastian di pasar juga bisa mendulang harga nikel di masa depan.

Berkah komoditas tidak hanya dialami Indonesia pada tahun ini saja. Indonesia juga pernah mendapat berkah yang sama pada tahun 1970an di tengah harga minyak serta tahun 20111-2014 karena CPO.

Pada tahun 2011, misalnya, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Sumber Daya Alam (SDA) mencapai Rp 213,8 triliun, melonjak dibandingkan tahun 2010 (Rp 168,8 triliun). Penerimaan tersebut di atas target APBN 2011 yang ditargetkan Rp 191,98 triliun.

Pada tahun 2011, penerimaan SDA migas mencapai Rp 205,8 sementara dari SDA non migas mencapai Rp 20,3 triliun.
Kenaikan penerimaan tersebut membantu menurunkan defisit pada tahun 2011. Realisasi defisit anggaran hanya menembus 1,14% dari PDB, jauh di bawah yang ditetapkan dalam APBN-P 2011 yakni 2,1% dari PDB. Padahal, subsidi energi pada tahun tersebut menembus Rp 255,6 triliun.

Kenaikan harga komoditas juga mendongkrak penerimaan negara dari Rp 168,8 triliun pada 2010 menjadi Rp 240,8 triliun. PNBP SDA melorot menjadi Rp 101 triliun pada 2015 seiring berakhirnya booming komoditas.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular