Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten perbankan nasional mulai menyatakan komitmen untuk mengatasi perubahan iklim dengan membatasi pembiayaan ke sektor energi fosil. Namun jika dilakukan secara gegabah, kedaulatan energi Indonesia bisa terancam.
Di industri keuangan, muncul tren global di mana beberapa lembaga finansial utama (utamanya di negara maju) menyatakan menghentikan pembiayaan ke sektor yang dinilai memicu pemanasan iklim, yakni sektor energi fosil. Kebijakan itu makin gencar dipromosikan pasca-kesepakatan multilateral dalam forum KTT iklim COP26 di Glasgow, Skotlandia.
Selain membatasi dan menghentikan kredit ke sektor energi fosil, tahun lalu sekitar 190 negara dan organisasi yang menghadiri KTT COP26 Glasgow dilaporkan menandatangani perjanjian untuk memensiunkan PLTU batu bara.
Dari dalam negeri sendiri, Indonesia juga dikabarkan siap untuk 'memensiunkan' secara dini pembangkit listrik dengan sumber energi batu bara pada 2040, seperti yang diungkapkan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani.
Target tersebut lebih cepat dari perkiraan di mana sebelumnya Indonesia ditargetkan menghentikan PLTU batu bara tahun 2056 dan mencapai emisi nol karbon pada 2060.
Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, selama dua tahun dari Oktober 2018 hingga Oktober 2020 emiten perbankan RI memberikan kredit pendanaan kepada industri baru bara senilai Rp 89 triliun, sebagaimana disampaikan oleh Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Tata Kelola Minerba Irwandy Arif tahun lalu.
Tiga bank BUMN diketahui memberikan pinjaman yang cukup besar yakni PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) senilai US$ 2,46 miliar atau setara Rp 36 triliun (kurs Rp 14.500/US$), PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) sebesar US$ 1,83 miliar atau Rp 27 triliun, dan PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) US$ 1,76 miliar atau Rp 26 triliun.
Sebelumnya, menanggapi pertumbuhan tren pembiayaan ekonomi hijau, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah kepada CNBC Indonesia mengatakan bahwa pembiayaan ke sektor energi fosil, seperti batu bara tidak bisa serta merta dihapuskan.
Piter berpendapat, kalau pembiayaan terkait batu bara dihentikan mendadak, Indonesia bisa mengalami krisis energi dan juga kehilangan pendapatan. Selain itu, multiplier effect (efek lanjutannya) adalah krisis di masyarakat. Walau ekonomi hijau sangat penting, kesejahteraan masyarakat tetap menjadi hal yang semestinya paling utama.
Akhir September lalu, di depan Majelis Umum PBB Presiden China Xi Jinping menyampaikan pengumuman yang menghantam industri fosil, khususnya batu bara, di mana Xi membuat komitmen baru terkait kebijakan iklim untuk menangani pemanasan global.
Dalam sidang tersebut Xi menegaskan bahwa China tak akan membangun proyek pembangkit listrik tenaga batu bara lagi di luar negeri. Sebelumnya, telah diketahui melalui pendanaan Belt and Road Initiative (BRI), China berinvestasi di sejumlah proyek PLTU di beberapa negara berkembang, termasuk Indonesia.
Sebelumnya, pada Juni 2021 International Renewable Energy Agency (IRENA) telah menandatangani nota kesepakatan baru dengan Kementerian Ekologi dan Lingkungan China untuk mempromosikan netralitas karbon melalui energi terbarukan.
Saat ini China adalah pemimpin dalam penyebaran energi terbarukan, mewakili lebih dari 40% dari total sebaran energi terbarukan global. IRENA memperkirakan bahwa energi terbarukan memiliki potensi memasok lebih dari 90% kebutuhan listrik China pada tahun 2050, dengan lebih dari 60% bersumber dari matahari dan angin.
Jika China berkomitmen tak akan membangun proyek pembangkit listrik tenaga batu bara lagi di luar negeri, Asian Development Bank (ADB) atau Bank Pembangunan Asia lebih ekstrem lagi. ADB telah mengumumkan bahwa mereka tidak akan lagi mendanai proyek yang berkaitan dengan eksplorasi atau produksi tambang batu bara, minyak bumi dan gas alam di dunia.
Kebijakan baru ini telah diumumkan dalam draf pernyataan kebijakan yang dirilis pada bulan Mei tahun lalu dan disambut baik oleh kelompok penggiat lingkungan, yang mengatakan seharusnya ADB sudah mengambil langkah ini sejak satu dekade lalu.
Selain ADB, dari kancah global juga ada UBS yang melakukan penurunan pembiayaan terhadap bisnis bahan bakar fosil hingga 73%, dari US$ 7,7 miliar (Rp 111,65 triliun) pada tahun 2016 menjadi US$ 2,1 miliar (Rp 30,45 triliun) pada tahun 2020, menurut analisis CNBC Make It.
Dari tingkat regional, Malayan Banking Berhad atau Maybank tahun lalu juga memutuskan akan menghentikan pembiayaan untuk aktivitas pertambangan batu bara. Pada 2025, Maybank berencana mengalokasikan RM 50 miliar dalam upaya mendorong pembiayaan berkelanjutan.
Setahun sebelumnya, pesaing Maybank yakni CIMB Group Holdings Bhd, juga telah berkomitmen untuk menghapus batu bara dari portofolionya per 2040. CIMB mengklaim menjadi grup perbankan pertama di Malaysia dan Asia Tenggara yang melakukan penghentian pembiayaan batu bara.
Meskipun telah lama diterpa sentimen negatif terkait masa depan yang suram, kinerja keuangan dan saham emiten yang bergerak di sektor ini malah tumbuh secara signifikan. Hal ini salah satunya ditopang oleh harga komoditas energi yang mulai melonjak akibat kenaikan permintaan pasca pembukaan ekonomi yang sempat lumpuh di zaman pandemi.
Selain itu krisis energi di Eropa akhir tahun lalu ikut mendorong harga lebih tinggi, sebelum menyentuh rekor tertinggi tahun ini akibat serangan Rusia ke Ukraina yang mengancam rantai pasok. Konflik yang tak kunjung usai di Eropa Timur membuat investor dan trader cemas akan keamanan energi di masa depan, sehingga ramai-ramai masuk ke sektor energi.
IDX Sector Energi yang mengukur kinerja 67 saham emiten yang bergerak di sektor tersebut tercatat melejit 52% tahun ini. Lebih fantastis lagi, dalam setahun terakhir indeks tersebut telah terbang hingga 136%.
Secara rinci emiten batu bara raksasa menjadi motor pergerakan utama terbangnya indeks tersebut. Saham BYAN tercatat tumbuh 101% tahun ini dan 280% dalam setahun, ITMG tumbuh 72% tahun ini dan 193% dalam setahun, dengan ADRO juga tumbuh 54% tahun ini dan 190% dalam setahun.
Sementara itu, PTBA mampu tumbuh 59% tahun ini dan naik 88% dalam setahun. Lalu INDY juga ikut mengalami kenaikan fantastis, tumbuh 94% tahun ini dan 110% dalam setahun. Emiten yang bergerak di sektor migas juga mengalami kenaikan yang mirip, dengan saham PGAS dan ENRG tercatat masing-masing naik 43% dan 103% dalam setahun.
TIM RISET CNBC INDONESIA