Tengah Hari, Rupiah Lesu Lawan Dolar AS! Perlu Obat Kuat Apa?

Annisa Aflaha, CNBC Indonesia
06 June 2022 11:35
FILE PHOTO: A security guard walks past a montage of U.S. $100 dollar bills outside a currency exchange bureau in Kenya's capital Nairobi, July 23, 2015. REUTERS/Thomas Mukoya/File Photo
Foto: REUTERS/Thomas Mukoya

Jakarta, CNBC Indonesia - Dolar Amerika Serikat (AS) berhasil melibas rupiah hingga di pertengahan hari ini, Senin (6/6). Padahal, dolar AS sedang melemah di pasar spot. Apa pemicunya?

Melansir Refinitiv, rupiah di sesi awal perdagangan terkoreksi 0,07% ke Rp 14.445/US$. Kemudian, rupiah kembali terkoreksi lebih dalam menjadi 0,17% ke Rp 14.460/US$ hingga pukul 11:00 WIB.

Indeks dolar AS berhasil membukukan kenaikan 0,47% pekan lalu. Namun, pukul 11:00 WIB, dolar AS terkoreksi terhadap 6 mata uang dunia lainnya sebanyak 0,05% ke level 102,088.

Meski dolar AS terkoreksi hari ini, tapi koreksinya tipis saja karena pasar memperkirakan bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan segera menaikkan suku bunga acuannya lagi di pertemuan selanjutnya pada 14-15 Juni karena inflasi diprediksikan belum mencapai target di 2%, meskipun diproyeksikan akan melandai.

Investor pekan ini akan disibukkan dengan rilis data ekonomi dari neraca perdagangan AS, data klaim pengangguran, dan angka inflasi bulan Mei.

Inflasi Mei diperkirakan akan sedikit lebih rendah dari inflasi di bulan April dan beberapa ekonom memperkirakan bahwa inflasi telah mencapai puncaknya.

Kepala Strategi Pasar National Securities Art Hogan memproyeksikan inflasi Mei secara tahunan berada di 8,2% atau tepat berada di bawah laju April di 8,3%.

Sementara itu, Kepala Analis Grant Thornton Diane Swonk mengatakan bahwa inflasi Mei akan terpengaruh oleh lonjakan harga bensin di bulan Mei. Selain itu, harga mobil bekas dan biaya makanan juga bisa menjadi faktor tambahan.

Presiden The Fed Cleveland Loretta Mester mengatakan pada hari Jumat (3/6) bahwa dia tidak melihat cukup bukti bahwa inflasi telah mencapai puncaknya dan dia setuju dengan kenaikan suku bunga sebanyak 50 basis poin pada pertemuan selanjutnya hingga September.

"Saya tidak melihat badai, tetapi kita harus menyadari bahwa risiko resesi telah meningkat. Bukan hanya karena kenaikan suku bunga tetapi juga karena perlambatan pertumbuhan ekonomi Eropa di tengah perang Rusia di Ukraina dan penutupan COVID-19 di China yang telah menekan permintaan dan rantai pasokan lebih lanjut," tambahnya yang dikutip dari Reuters.

Jika mengacu pada CME FedWatch, pada akhir tahun ini, investor memperkirakan The Fed akan mengerek suku bunga ke 2,75-3% dengan peluang 54,6%. Sebagai informasi, suku bunga acuan saat ini masih berada di 0,75-1%.

Maka dari itu, perkiraan bahwa The Fed akan sangat agresif untuk mengetatkan kebijakan moneternya untuk mengendalikan inflasi, membuat dolar AS stabil dan menekan Mata Uang Garuda.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(aaf/vap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Rupiah Dekati Rp 15.000/US$, Begini Kondisi Money Changer

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular