
Resesi, Resesi, Resesi! Harga Minyak Jadi Susah Gerak

Namun pagi ini harga emas bak kehabisan 'bensin'. Sepertinya investor (dan seluruh dunia) cemas terhadap risiko resesi ekonomi yang kian hari kian terlihat.
Data ekonomi terbaru di berbagai negara menunjukkan pemburukan. Di Amerika Serikat (AS), ADP melaporkan sektor swasta di Negeri Paman Sam menciptakan 128.000 lapangan kerja pada Mei 2022. Ini adalah yang terendah sejak April 2020, kala AS memberlakukan karantina wilayah (lockdown) karena pandemi virus corona sedang ganas-ganasnya.
Rilis dari ADP menjadi 'pemanasan' jelang pengumuman data penciptaan lapangan kerja non-pertanian (non-farm payroll) oleh Departemen Keternagakerjaan AS. Jika data ADP jelek, maka versi resmi kemungkinan besar akan berjalan searah.
Sebelumnya, JPMorgan mengumumkan aktivitas manufaktur yang diukur dengan Purchasing Managers' Index (PMI) periode Mei 2022 sebesar 52,4. Hanya sedikit membaik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 52,3. Angka April 2022 adalah yang terendah dalam 20 bulan terakhir.
Perang Rusia-Ukraina yang berlangsung berbulan-bulan dan belum jelas kapan bakal selesai membuat harga komoditas 'beterbangan'. Akibatnya, dunia usaha mendapat tekanan karena harga barang input naik. Jadi jangan heran kalau aktivitas manufaktur agak tertahan, begitu pula dengan penciptaan lapangan kerja.
"Inflasi semakin buruk, kejutan suku bunga baru dimulai. Sepertinya resesi akan datang," tulus Michael Hartnett, Chief Investment Strategist di BofA, sebagaimana dikutip dari Reuters.
Omongan soal resesi yang semakin ramai membuat pelaku pasar cemas. Apabila benar-benar terjadi (amit-amit jabang bayi), maka aktivitas ekonomi akan lesu sehingga permintaan energi turun. Ini yang membuat investor ragu untuk membeli kontrak minyak.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
