Bisakah Rupiah Tandingi Rubelnya Putin?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
Senin, 30/05/2022 07:35 WIB
Foto: Ilustrasi Rupiah (CNBC Indonesia/ Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah akhirnya menunjukkan taji lagi melawan dolar Amerika Serikat (AS) setelah mengalami tekanan bulan ini. Rupiah pada pekan lalu sukses mencatat penguatan tiga hari beruntun, yang membuatnya mampu memangkas pelemahan sepanjang 2022.

Jika dilihat sedikit lebih ke belakang, rupiah sukses menguat dalam empat dari lima perdagangan terakhir. Penguatan rupiah dimulai setelah pemerintah kembali mengizinkan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dan produk turunannya.

Sempat kembali melemah, tetapi rupiah akhirnya sukses mencatat penguatan tiga hari beruntun setelah Bank Indonesia (BI) mengumumkan hasil kebijakan moneter pada Selasa (24/3/2022).


Sepanjang pekan lalu rupiah mampu menguat 0,51% ke Rp 14.575/US$. Penguatan tersebut membuat rupiah mampu memangkas pelemahan sepanjang tahun ini menjadi 2,2%. 

Meski mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan, tetapi performa rupiah masih sangat jauh ketimbang rubel Rusia yang sebelumnya menjadi mata uang terbaik dunia. Padahal, Rusia tengah berperang dengan Ukraina dan dijatuhi berbagai macam sanksi oleh Amerika Serikat dan sekutu.

Ada beberapa faktor yang membuat rubel mampu berjaya, salah satunya kebijakan bank sentral Rusia (Central Bank of Russia/CBR).

Sementara itu pada pekan lalu, BI mengumumkan hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG), dan sesuai ekspektasi, suku bunga acuan masih ditahan.

"Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia pada 23-24April 2022 memutuskan untuk mempertahankan BI7-Day Reverse Repo Rate sebesar 3,5%, suku bunga Deposit Facility sebesar 2,75%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 4,25%," sebut Perry Warjiyo, Gubernur BI, dalam jumpa pers secara virtual Selasa (24/5/2022). 

BI tidak mengambil langkah menaikkan suku bunga seperti bank sentral lainnya di berbagai negara, bahkan dengan sangat agresif guna meredam 'tsunami' inflasi. Di Indonesia sendiri inflasi sudah mulai menanjak, tetapi masih dalam rentang target bank sentral.

Meski demikian, BI juga mengambil langkah-langkah guna menjaga stabilitas rupiah, yakni mempercepat normalisasi kebijakan likuiditas dengan menaikkan GWM secara bertahap.

Sebelumnya di awal tahun ini, BI berencana mengerek GWM Pada Maret (100 basis poin), Juni (100 basis poin) dan September (50 basis poin), untuk bank umum konvensional (BUK) menjadi 6,5%

Untuk bank umum syariah (BUS) di September GWM menjadi 5%, dengan kenaikan masing-masing 50 basis poin.

BI kemudian mempercepat dan menaikkan lagi GWM. Untuk BUK, GWM yang saat ini 5% akan naik menjadi 6% di bulan Juni, kemudian 7,5% di bulan Juli dan 9% di bulan September.

Untuk BUS yang saat ini 4% naik menjadi 4,5% di Juni, 6% di Juli dan 7,5% di September.

Kenaikan tersebut diperkirakan akan menyerap likuiditas di perekonomian sebesar Rp 110 triliun.

"Secara keseluruhan ini memang dengan kenaikan GWM ini akan mengurangi likuiditas di perbankan sekitar Rp 110 triliun, namun rasio Alat Likuid terhadap Dana Pihak Ketiga (AL/DPK) masih tinggi sekira 28% sampai akhir tahun ini, masih jauh di atas rasio sebelum pandemi Covid yang sebesar 21%," jelas Perry.

Penyerapan likuiditas tersebut diharapkan mampu membuat rupiah lebih stabil. Rupiah yang mulai kembali menguat menjadi sinyal kebijakan BI bisa direspon positif oleh pasar.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rupiah Tak Mampu Tandingi Rubel, Tapi Lebih Disukai Investor


(pap/pap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Perry Warjiyo Putuskan BI Rate Tetap 5,50%

Pages