Bisakah Rupiah Tandingi Rubelnya Putin?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 May 2022 07:35
Jerome Powell
Foto: Reuters

Meski bank sentral utama dunia "berlomba" menaikkan suku bunga, Bank Indonesia masih enggan mengekor. Bank sentral AS (The Fed) menjadi yang paling agresif, tetapi Perry dan kolega nampaknya masih pede dengan melawan tekanan tersebut dengan hanya menaikkan GWM.

Ketika ditanya bagaimana arah kebijakan BI akibat selisih suku bunga dengan The Fed yang semakin menipis, Perry menyiratkan tidak perlu merespon dengan ikut menaikkan suku bunga.

"Kalau mengukur kebijakan moneter jangan hanya mengukur suku bunga. Kebijakan moneter Bank Indonesia yakni likuiditas, kita lakukan pengurangan, kemudian nilai tukar dan yang ketiga suku bunga," kata Perry.

Perry juga menyatakan pengaruh kebijakan The Fed ke Indonesia melalui kenaikan yield Treasury yang berdampak ke yield SBN. Namun, menurut Perry kenaikan yield obligasi pemerintah AS tidak selalu berdampak simetris, sebab ada faktor lain yang mempengaruhi yakni pola pembiayaan fiskal pemerintah dan preferensi investor dalam negeri yang bisa menerima yield lebih rendah ketimbang investor asing.

Perry menegaskan normalisasi kebijakan Indonesia terlebih dahulu dilakukan dengan normalisasi likuiditas dengan kenaikan GWM. 

Dalam pengumuman kebijakan moneter pekan lalu, BI terlihat pede dengan stabilitas nilai tukar rupiah. Dibandingkan mata uang Asia lainnya, pelemahan rupiah memang termasuk salah satu yang terkecil.

Selain itu, fundamental Indonesia masih bagus dengan transaksi berjalan yang masih mampu mencatat surplus, berkat harga komoditas yang melambung tinggi. Kemudian, kepemilikan asing di pasar obligasi kini jauh lebih rendah, sekitar 19% dibandingkan sebelum pandemi sebesar 40%. Hal ini membuat tekanan bagi BI untuk melakukan intervensi akibat capital outflow jauh lebih rendah.

Tekanan inflasi juga kemungkinan tidak akan besar setelah pemerintah menambah subsidi.

Seperti diketahui, pemerintah akan menambah subsidi energi sebesar Rp 74,9 triliun. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga sepakat untuk menambah alokasi pembayaran kompensasi BBM dan listrik sebesar Rp 275 triliun. Kompensasi akan terbagi sebesar Rp 234 triliun untuk BBM dan listrik sebesar Rp 41 triliun.

Dengan demikian, harga BBM jenis Pertalite dan gas 3 kg kemungkinan tidak akan dinaikkan, yang bisa menjaga inflasi tidak meroket dan terkendali. Hal ini juga yang membuat BI menyatakan tekanan untuk merespon dengan kenaikan suku bunga tidak besar seperti bank sentral lain di dunia.

BI memprediksi di tahun ini inflasi akan sedikit di atas 4%, dan di tahun depan kembali turun ke bawahnya.

Di sisi lain, ada kemungkinan The Fed tidak akan terlalu agresif di tahun ini. Hal ini bisa menguntungkan bagi BI, sebab pasar sudah price in dengan suku bunga bank sentral paling powerful di dunia ini berada di kisaran 2,75%-3% di akhir tahun nanti.

Namun nyatanya dalam notula rapat kebijakan moneter The Fed yang dirilis pekan lalu terungkap terungkap para pejabat The Fed sepakat untuk menaikkan suku bunga 50 basis poin di bulan Juli dan Juli. Mereka melihat jika suku bunga segera dinaikkan, maka di sisa tahun ini The Fed akan berada di posisi yang bagus untuk menilai efek dari kenaikan suku bunga tersebut.

Artinya, ada peluang The Fed akan menunda kenaikan suku bunga untuk sementara setelah menaikkan 50 basis poin di bulan Juni dan Juli.

"Pasar mulai sedikit optimistis The Fed tidak akan terlalu agresif dalam menaikkan suku bunga, dan beberapa aksi jual yang melanda aset berisiko, khususnya saham, mungkin telah berakhir. Hal itu memicu sedikit reli aset berisiko yang berdampak buruk bagi dolar AS," kata Ed Moya, analis senior di Oanda, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (26/5/2022).

Pasca rilis notula tersebut, pasar kini melihat di akhir tahun suku bunga The Fed berada 2,5% - 2,75%. Berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group, probabilitasnya sebesar 58,8%, padahal pada pekan lalu ekspektasi suku bunga di 2,75% - 3% menjadi yang tertinggi probabiitasnya.

idrFoto: CME Group

Ahli strategi dari bank investasi JP Morgan juga melihat peluang The Fed tidak akan agresif, meski dikatakan bukan skenario yang utama.

"Itu bukan skenario dasar tim ekonomi kami, tetapi kami pikir ada peluang The Fed akan mengerek suku bunga hingga 1,75% - 2% yang merupakan kebijakan normal dan memberi peluang untuk menghentikan sementara kenaikan suku bunga dan menilai terlebih dahulu dampak kebijakannya terhadap pasar tenaga kerja dan inflasi," kata ahli strategi JP Morgan, sebagaimana dilansir Reuters, Kamis (26/5/2022).

Alhasil, indeks dolar AS yang sebelumnya berada di level terkuat dalam dua dekade terakhir berbalik merosot dalam dua pekan beruntun, nyaris sebesar 3%. Pada pekan lalu indeks yang mengukur kekuatan dolar AS ini berada di 101,668 yang merupakan level terendah dalam satu bulan terakhir.

Hal tersebut tentunya bisa menguntungkan bagi rupiah untuk menjaga stabilitas di tahun ini. BI pun bisa mempertahankan suku bunga lebih lama lagi guna mempertahankan momentum pertumbuhan ekonomi.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular