
Berkat Sri Mulyani, BI Tak Perlu Buru-buru Naikkan Bunga

Perry menegaskan inflasi mungkin akan menembus 4% tetapi BI akan memilih cara lain dalam memperketat kebijakan moneternya sekaligus menekan inflasi.
"Normalisasi kebijakan BI dilakukan terlebih dahulu melalui normalisasi likuditas dengan kenaikan GWM (Giro Wajib Minimum) tanpa mengurangi kemampuan bank dalam menyalurkan kredit. Likuiditas sangat berlebih," tutur Perry.
BI akan mempercepat kenaikan GWM secara bertahap, Kenaikan GWM akan dilakukan sebagai berikut:
- Kewajiban minimum GWM Rupiah untuk BUK (Bank Umum Konvensional) yang pada saat ini sebesar 5,0% naik menjadi 6,0% mulai 1 Juni 2022, 7,5% mulai 1 Juli 2022 dan 9,0% mulai 1 September 2022.
- Kewajiban minimum GWM Rupiah untuk BUS (Bank Umum Syariah) dan UUS (Unit Usaha Syariah) yang pada saat ini sebesar 4,0%, naik menjadi 4,5% mulai 1 Juni 2022, 6,0% mulai 1 Juli 2022, dan 7,5% mulai 1 September 2022.
- Pemberian remunerasi sebesar 1,5% terhadap pemenuhan kewajiban GWM setelah memperhitungkan insentif bagi bank-bank dalam penyaluran kredit/pembiayaan kepada sektor prioritas dan UMKM dan/atau memenuhi target RPIM.
- Kenaikan GWM tersebut tidak akan mempengaruhi kemampuan perbankan dalam penyaluran kredit/pembiayaan kepada dunia usaha dan partisipasi dalam pembelian SBN untuk pembiayaan APBN.
Ekonom Bank Danamon Wisnu Wardana mengatakan kenaikan GWM akan membuat likuiditas berkurang sekitar Rp 256 triliun. Kelebihan likuiditas perbankan diperkirakan ada di angka Rp 882 triliun, jauh di atas sebelum pandemi yang berada di kisaran Rp 400 triliun.
Dia menjelaskan kenaikan GWM dilakukan untuk meredam inflasi sekaligus memberi sinyal yang kuat bahwa BI tengah memperketat kebijakan tapa harus mengutak-atik suku bunga.
Wisnu mengatakan Indonesia sedikit beruntung dibandingkan negara lain seperti India ataupun Afrika Selatan yang harus berjuang melawan inflasi karena kenaikan harga komoditas pangan dan energy. Pasalnya, Indonesia adalah salah satu penghasil komoditas sehingga masih diuntungkan dengan kenaikan harga.
"Posisi Indonesia jelas lebih baik dibandingkan negara lain. Indonesia bisa menjaga inflasi tanpa harus menaikkan harga BBM bersubsidi," ujar Wisnu, kepada CNBC Indonesia. Wisnu memperkirakan BI baru akan menaikkan suku bunga acuan pada kuartal III tahun ini.
Sebelumnya, Ekonom Bank Mandiri Faisal Rachman memperkirakan keputusan pemerintah untuk mempertahankan harga BBM dan listrik akan membuat laju inflasi bergerak di kisaran 3,5-3,8% pada tahun ini. Laju inflasi tersebut jauh lebih rendah dibandingkan perkiraan sebelumnya yakni 4,60%.
Bank Mandiri semula memperkirakan inflasi ada di angka 3,3% pada tahun ini. Di April, mMereka merevisi ke atas proyeksi inflasi menjadi 4,06% seiring lonjakan harga komoditas pangan dan energi akibat perang Rusia-Ukraina.
"inflasi akan lebih rendah. Hitungan sementara kami di 3,5-3,8%," tutur Faisal kepada CNBC Indonesia.
Sementara itu, terkait kenaikan suku bunga acuan The Fed, Perry menjelaskan meningkatnya The Fed Fund Rate (FFR) lebih berdampak terhadap pergerakan yield surat utang pemerintah.
Namun, peran BI dalam pembelian surat utang pemerintah serta semakin menurunnya porsi asing akan mengurangi tekanan dari risiko kenaikan FFR. Perry memperkirakan the Fed akan menaikkan suku bunga hingga 250 bps pada tahun ini hingga menjadi 2,75%.
Sebagai catatan, yield Surat Berharga Negara (SBN) turun di tengah ketidakpastian pasar global. Pada perdagangan Jumat pekan lalu, yield SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara kembali melemah 5,6 bps ke level 7,280%.
"Sektor eksternal kita semakin bertumbuh pada aliran modal asing yang lebih long term. Kepemilikan asing di SBN juga turun dari 40% menjadi 20%. Hal ini memperkuat kondisi ketahanan eksternal ekonomi Indonesia," imbuh Perry.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(mae/mae)
[Gambas:Video CNBC]
