
Rupiah Perlu "Sabda" Pak Perry Untuk Bisa Menguat?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah kembali melemah 0,27% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.685/US$ pada perdagangan Rabu (18/5/2022). Dengan demikian sepanjang Mei rupiah belum pernah menguat dan berada di level terlemah sejak November 2020.
Padahal, di pekan ini ada kabar baik dari dalam negeri. Kemarin Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan nilai ekspor Indonesia pada April 2022 melampaui US$ 27 miliar naik 47,76% dibandingkan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy). Nilai tersebut merupakan yang tertinggi sepanjang masa.
Di sisi lain, nilai impor Indonesia pada bulan lalu sebesar US$ 19,76 miliar, tumbuh 21,97% (yoy). Dengan demikian, neraca perdagangan Indonesia membukukan surplus US$ 7,56 miliar. Ini membuat neraca perdagangan mengalami surplus selama 24 bulan beruntun, sayangnya belum mampu mendongkrak kinerja rupiah.
Sulitnya rupiah menguat di bulan ini tidak lepas dari agresifnya bank sentral AS (The Fed) dalam menaikkan suku bunga acuannya.
Seperti diketahui The Fed mulai menaikkan suku bunga pada bulan Maret lalu, sebesar 25 basis poin menjadi 0,25% - 5%. Di bulan ini The Fed lebih agresif lagi dengan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 0,75% - 1%. Kenaikan ini menjadi yang terbesar dalam 22 tahun terakhir.
Tidak sampai di situ, ketua The Fed Jerome Powell bahkan terang-terangan menyatakan suku bunga bisa dinaikkan lagi 50 basis poin dalam beberapa pertemuan ke depan. Namun, Powell juga mengesampingkan kemungkinan kenaikan 75 basis poin.
Kemarin, Ketua The Fed Jerome Powell memberikan pernyataan bahwa The Fed akan kembali menaikkan suku bunga acuan setinggi yang diperlukan untuk menekan lonjakan inflasi yang mengancam fondasi ekonomi.
"Apa yang perlu kita lihat adalah inflasi turun dengan cara yang jelas dan meyakinkan. Jika kami tidak melihat itu, kami harus mempertimbangkan untuk bergerak lebih agresif," tuturnya pada Konferensi Wall Street Journal yang dikutip dari Reuters.
Pasca pernyataan tersebut, pasar kini melihat di akhir tahun suku bunga The Fed akan berada di kisaran 2,75% - 3%, artinya akan ada kenaikan 200 basis poin lagi.
Di sisi lain, Bank Indonesia (BI) masih bersikap dovish. Pada pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan lalu, Gubernur BI Perry Warjiyo menyatakan masih bersabar untuk menaikkan suku bunga, dan melihat perkembangan inflasi inti.
Di bulan April inflasi inti masih berada di 2,6% dan diprediksi akan melandai sebab puncak inflasi biasanya terjadi saat bulan Ramadan.
BI akan melakukan RDG lagi pada 23 dan 24 Mei mendatang. Kemungkinan BI menaikkan suku bunga masih ada, tetapi sepertinya kecil, sebab BI kemungkinan akan mengamati terlebih dahulu perkembangan inflasi inti pasca Ramadan.
Meski demikian, seandainya Gubernur Perry bersikap sedikit lebih hawkish, misalnya dengan mengindikasikan suku bunga akan naik di semester II-2022, maka hal tersebut akan memberikan tenaga bagi rupiah untuk menguat. Sebab sejauh ini, meski tekanan dari eksternal sangat besar, kinerja rupiah masih lebih bagus ketimbang mata uang utama Asia lainnya.
Pelemahan rupiah sepanjang tahun ini sebesar 3% sementara yuan China merosot lebih dari 6,5%, kemudian ringgit Malaysia lebih dari 5% dan ruppe India bahkan menyentuh level terlemah sepanjang masa dengan pelemahan lebih dari 4%.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Segini Harga Jual Beli Kurs Rupiah di Money Changer
