Rp 23 T 'Digondol', Indonesia Tak Lagi Jadi Surga?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
17 May 2022 09:50
Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell  (AP Photo/Jacquelyn Martin)
Foto: Gubernur bank sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve, Jerome Powell (AP Photo/Jacquelyn Martin)

Bank Sentral AS (The Fed) menjadi pemicu capital outflow yang terjadi di pasar obligasi Indonesia, begitu juga dengan pasar saham. Seperti diketahui The Fed mulai menaikkan suku bunga pada bulan Maret lalu, sebesar 25 basis poin menjadi 0,25-0,5%.

Di bulan ini The Fed lebih agresif lagi dengan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 0,75-1%. Kenaikan ini menjadi yang terbesar dalam 22 tahun terakhir.

Tidak sampai di situ, ketua The Fed Jerome Powell bahkan terang-terangan menyatakan suku bunga bisa dinaikkan lagi 50 basis poin dalam beberapa pertemuan ke depan. Namun, Powell juga mengesampingkan kemungkinan kenaikan 75 basis poin.

"Kenaikan 50 akan didiskusikan dalam beberapa pertemuan mendatang. (Kenaikan) 75 basis poin bukan sesuatu yang dipertimbangkan anggota komite kebijakan moneter," kata Powell saat konferensi pers Kamis (5/5/2022).

Pasca pengumuman tersebut, pelaku pasar mayoritas melihat suku bunga di AS akhir tahun ini akan berada di rentang 2,75-3%, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group. Artinya, suku bunga kemungkinan akan dinaikkan 200 basis poin lagi.

Suku bunga yang tinggi tersebut membuat aliran modal menuju Amerika Serikat, negara yang berlabel "aman", ketimbang berada di negara emerging market seperti Indonesia yang dianggap lebih berisiko.

Hal ini membuat ekonom OCBC Wellian Wiranto memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan mengambil langkah pre-emptive BI juga dilakukan demi menjaga daya tarik aset domestik, serta menjaga inflasi agar tidak melonjak.

"Ekonomi domestik memang belum pulih sepenuhnya tapi dalam kondisi yang cukup baik. Namun, lonjakan inflasi harus segera ditangani untuk menjaga kepercayaan konsumen," ujarnya.

Wellian memperkirakan BI akan mulai menaikkan suku bunga pada Mei tahun ini. Secara keseluruhan, dia memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 bps sepanjang tahun ini sehingga suku bunga acuan BI akan berada di level 4,5% di akhir tahun.

Namun, pendapat berbeda diutarakan ekonom Bahana Sekuritas Satria Putra Sambijantoro. Ia mengatakan BI kemungkinan besar masih akan fokus pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dibandingkan meredam inflasi. Terlebih, pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi belum kembali ke level sebelum pra pandemi.

Satria menambahkan lonjakan inflasi April disebabkan oleh adanya demand pull inflation maupun cost push inflation. Permintaan melonjak seiring datangnya bulan Ramadhan sementara harga naik sejalan dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kenaikan harga BBM, serta komoditas pangan dan energi di pasar global.

"Suku bunga hanya berdampak terhadap permintaan (inflasi inti) tetapi persoalan yang dihadapi sekarang adalah tekanan inflasi yang ditimbulkan oleh pasokan dan kenaikan harga BBM," ujar Satria dalam laporan bertajuk Will BI Curb Demand to Counter Inflation?

Satria mengatakan masih ada ruang bagi BI untuk tetap mempertahankan suku bunga tahun ini, terutama karena pemulihan ekonomi belum berlangsung secara penuh.

"Menurunkan inflasi dengan cara merusak permintaan sepertinya tidak akan menjadi pilihan kebijakan yang dipilih BI," imbuhnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA

 

(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular