Jakarta, CNBC Indonesia - Sebelum memasuki bulan Mei, pasar saham Indonesia diguyur modal investor asing berpuluh-puluh triliun rupiah. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pun berkali-kali memecahkan rekor tertinggi.
Perang Rusia dengan Ukraina membuat pasar saham Eropa mengalami capital outflow. Duit yang terbang tersebut mencari tempat baru untuk "berkembang biak", Indonesia menjadi salah satu tujuannya.
Sebab, Indonesia diuntungkan oleh harga komoditas yang melonjak, neraca perdagangan sukses mencetak surplus dalam 23 bulan beruntun, devisa mengalir deras ke dalam negeri, fundamental pun membaik.
Transaksi berjalan Indonesia membukukan surplus sebesar US$ 1,4 miliar atau 0,4% dari Produk Domestik Bruto (PDB) pada kuartal IV-2021. Sepanjang 2021, surplus transaksi berjalan tercatat sebesar US$ 3,3 miliar (0,3% dari PDB). Kali terakhir transaksi berjalan mencatat surplus secara tahunan yakni pada 2011 lalu.
Sayangnya, memasuki perdagangan Mei pekan lalu pasar saham malah mengalami aksi jual masif. IHSG pun ambrol hingga 8,7% ke 6.597,993, jauh dari rekor tertinggi sepanjang masa 6.355,3. Penguatan sepanjang tahun ini pun hanya tersisa 0,25% saja.
Data pasar menunjukkan sepanjang pada periode 9 - 13 Mei lalu, investor asing tercatat melakukan aksi jual bersih sebesar Rp 8,41 triliun di pasar reguler, dan ditambah pasar tunai dan nego nilainya mencapai Rp 9,11 triliun.
Indonesia yang sebelumnya menjadi "surga investasi" kini mulai ditinggalkan, atau ini merupakan fenomena sell in May and go away?
Fenomena atau mitos tersebut terjadi di bursa saham Amerika Serikat (AS), di mana di bulan Mei akan terjadi aksi jual sehingga kinerja indeks menjadi negatif. Dan hal tersebut terjadi lagi di tahun ini. Indeks Dow Jones, S&P 500 dan Nasdaq semuanya ambrol.
IHSG bulan ini memang juga terpuruk. Namun, jika melihat sejak 1991 kinerja IHSG sebenarnya lebih banyak mengalami penguatan. IHSG tercatat menguat sebanyak 13 kali, sementara penguatannya sebanyak 19 kali, bahkan beberapa kali mengalami penguatan yang tajam.
Di bulan Mei kali ini, IHSG memang diterpa aksi jual hingga jeblok mengikuti Wall Street. Aksi jual tersebut membuat net buy asing di sepanjang tahun ini menyusut menjadi Rp 63 triliun.
Jebloknya IHSG dengan capital outflow yang masih membuat nilai tukar rupiah juga terseret turun. Dalam sepekan rupiah melemah 0,79% ke Rp 14.610/US$, yang merupakan level terlemah sejak November 2020.
Tidak hanya di pasar saham, pasar obligasi Indonesia yang sudah kurang menarik menjadi semakin terpuruk.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Rp 9 Triliun Lenyap dari Pasar Obligasi Sekunder, Lelang Sepi
Capital outflow yang terjadi di pasar obligasi sekunder semakin masif pada pekan lalu. Data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan menunjukkan pada periode 9-12 Mei terjadi capital outflow sebesar Rp 14,6 triliun.
Dengan demikian, total dana yang menguap di pasar saham dan obligasi dalam sepekan lebih dari Rp 23 triliun. Pasar obligasi Indonesia mulai tidak menarik sejak Maret lalu, sebab dalam dua bulan pertama tahun ini masih terjadi inflow lebih dari Rp 5 triliun.
Aksi jual yang melanda mulai terjadi di bulan Maret, sebab imbal hasil (yield) obligasi Amerika Serikat (AS) atau Treasury terus menanjak. Alhasil, selisih (spread) yield dengan Surat Berharga Negara (SBN) semakin menyempit.
Sepanjang tahun ini, total capital outflow di pasar obligasi sebesar Rp 78 triliun. Tidak hanya di pasar sekunder, lelang Surat Utang Negara (SUN) juga tidak laku. Data dari DJPPR menunjukkan total penawaran yang masuk dalam lelang SUN Selasa (10/5/2022) hanya Rp 19,74 triliun, termasuk 1,33 triliun penawaran investor asing.
Nilai penawaran tersebut menjadi yang terendah di tahun ini, bahkan di bawah target indikatif Rp 20 triliun, dan hanya diserap sebanyak Rp 7,76 triliun.
Direktur Surat Utang Negara (SUN) Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan Deni Ridwan mengatakan saat ini pasar memang tengah dalam kondisi risk off.
"Paska libur Lebaran, market bergerak dinamis merespons faktor-faktor global yang terjadi, antara lain sikap hawkish The Fed (bank sentral Amerika Serikat/AS) perkiraan masih tingginya tingkat inflasi Amerika Serikat, dan berlanjutnya perang Rusia-Ukraina, serta masih merebaknya kasus Covid-19 di Tiongkok," tutur Deni, kepada CNBC Indonesia.
Dia menambahkan kondisi risk off ini membuat investor kurang tertarik menanamkan investasinya di negara berkembang seperti Indonesia. Padahal, Indonesia masih menawarkan daya tarik seperti tingginya pertumbuhan ekonomi.
"Kondisi risk off tersebut berdampak pada appetite investor terhadap emerging market secara global, yang turut mempengaruhi incoming bids lelang SUN lebih rendah dibandingkan lelang SUN sebelumnya," ujar Deni.
HALAMAN SELANJUTNYA >>> Semua Gara-Gara The Fed
Bank Sentral AS (The Fed) menjadi pemicu capital outflow yang terjadi di pasar obligasi Indonesia, begitu juga dengan pasar saham. Seperti diketahui The Fed mulai menaikkan suku bunga pada bulan Maret lalu, sebesar 25 basis poin menjadi 0,25-0,5%.
Di bulan ini The Fed lebih agresif lagi dengan menaikkan suku bunga sebesar 50 basis poin menjadi 0,75-1%. Kenaikan ini menjadi yang terbesar dalam 22 tahun terakhir.
Tidak sampai di situ, ketua The Fed Jerome Powell bahkan terang-terangan menyatakan suku bunga bisa dinaikkan lagi 50 basis poin dalam beberapa pertemuan ke depan. Namun, Powell juga mengesampingkan kemungkinan kenaikan 75 basis poin.
"Kenaikan 50 akan didiskusikan dalam beberapa pertemuan mendatang. (Kenaikan) 75 basis poin bukan sesuatu yang dipertimbangkan anggota komite kebijakan moneter," kata Powell saat konferensi pers Kamis (5/5/2022).
Pasca pengumuman tersebut, pelaku pasar mayoritas melihat suku bunga di AS akhir tahun ini akan berada di rentang 2,75-3%, berdasarkan perangkat FedWatch milik CME Group. Artinya, suku bunga kemungkinan akan dinaikkan 200 basis poin lagi.
Suku bunga yang tinggi tersebut membuat aliran modal menuju Amerika Serikat, negara yang berlabel "aman", ketimbang berada di negara emerging market seperti Indonesia yang dianggap lebih berisiko.
Hal ini membuat ekonom OCBC Wellian Wiranto memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan mengambil langkah pre-emptive BI juga dilakukan demi menjaga daya tarik aset domestik, serta menjaga inflasi agar tidak melonjak.
"Ekonomi domestik memang belum pulih sepenuhnya tapi dalam kondisi yang cukup baik. Namun, lonjakan inflasi harus segera ditangani untuk menjaga kepercayaan konsumen," ujarnya.
Wellian memperkirakan BI akan mulai menaikkan suku bunga pada Mei tahun ini. Secara keseluruhan, dia memperkirakan BI akan menaikkan suku bunga acuan sebesar 100 bps sepanjang tahun ini sehingga suku bunga acuan BI akan berada di level 4,5% di akhir tahun.
Namun, pendapat berbeda diutarakan ekonom Bahana Sekuritas Satria Putra Sambijantoro. Ia mengatakan BI kemungkinan besar masih akan fokus pada upaya peningkatan pertumbuhan ekonomi dibandingkan meredam inflasi. Terlebih, pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan investasi belum kembali ke level sebelum pra pandemi.
Satria menambahkan lonjakan inflasi April disebabkan oleh adanya demand pull inflation maupun cost push inflation. Permintaan melonjak seiring datangnya bulan Ramadhan sementara harga naik sejalan dengan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), kenaikan harga BBM, serta komoditas pangan dan energi di pasar global.
"Suku bunga hanya berdampak terhadap permintaan (inflasi inti) tetapi persoalan yang dihadapi sekarang adalah tekanan inflasi yang ditimbulkan oleh pasokan dan kenaikan harga BBM," ujar Satria dalam laporan bertajuk Will BI Curb Demand to Counter Inflation?
Satria mengatakan masih ada ruang bagi BI untuk tetap mempertahankan suku bunga tahun ini, terutama karena pemulihan ekonomi belum berlangsung secara penuh.
"Menurunkan inflasi dengan cara merusak permintaan sepertinya tidak akan menjadi pilihan kebijakan yang dipilih BI," imbuhnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA