Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah sekian banyak uang digelontorkan untuk menstimulus belanja selama pandemi, pemulihan ekonomi RI sudah mulai terasa. Tapi di saat yang bersamaan, inflasi juga mulai mengalami kenaikan signifikan, yang pada akhirnya membuat bank sentral Indonesia diperkirakan akan segera menaikkan suku bunga acuan, seperti yang telah dilaksanakan oleh banyak negara ekonomi besar lainnya.
Bank Indonesia (BI) siap menaikkan BI 7-Day Reverse Repo Rate (BI7DRR) jika inflasi tinggi terus terjadi. BI juga memastikan mereka akan terus memonitor inflasi untuk memastikan bahwa mereka akan memberikan respon kebijakan yang tepat.
Kepada CNBC Indonesia, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo memastikan respon kebijakan BI akan sangat tergantung dari penyebab inflasi. Bank sentral akan juga melakukan sejumlah upaya untuk meredam inflasi termasuk dengan memperkuat kerja sama dengan pemangku kepentingan, termasuk pemerintah.
Badan Pusat Statistik (BPS), pada Senin (9/5/2022), mengumumkan inflasi Indonesia meroket 0,95% (month to month/mtm) pada April 2022, yang menjadi level tertinggi sejak Januari 2017. Secara tahunan (year on year/YoY), inflasi Indonesia melesat ke level 3,47% atau tertinggi sejak Agustus 2019. Inflasi tahunan tersebut semakin mendekati batas atas kisaran target BI yaitu 2-4%.
Apa dampak bagi pasar modal RI?
Kenaikan suku secara historis, memiliki dampak yang kurang baik bagi pasar keuangan secara keseluruhan, terutama bagi aset berisiko tinggi karena masyarakat cenderung lebih konservatif dan dalam melakukan investasi.
Manajer investasi pengelola aset di kancah global juga mulai sedikit mengurangi eksposur yang direkomendasikan atas aset karena bersiap menghadapi volatilitas yang lebih besar di pasar keuangan yang disebabkan oleh inflasi yang tak kunjung reda dan bank sentral yang diperkirakan semakin agresif.
Menurut jajak pendapat Reuters beberapa waktu lalu, para responden yang merupakan fund manager merekomendasikan pemangkasan untuk lokasi ekuitas (saham) menjadi rata-rata 50,1% dari model portofolio global, turun dari porsi 50,3% pada bulan sebelumnya.
Meski demikian tidak semua mengemukakan pandangan pesimis yang sama. Perusahaan asal Amerika Serikat yang bergerak di sektor finansial dengan dana kelolaan (assets under management) terbesar di dunia, BlackRock, menyebutkan lebih menyukai investasi di pasar ekuitas daripada pendapatan tetap di tahun mendatang karena laju inflasi diperkirakan akan bertahan di atas tingkat pra-pandemi.
Dalam dua hari terakhir Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat ambruk signifikan, salah satunya karena pengumuman kenaikan suku bunga di AS - paling agresif sejak tahun 2000 - pekan lalu saat pasar domestik libur. Kenaikan suku bunga The Fed juga telah membuat pasar saham AS turun drastis.
Dalam dua hari terakhir, asing melakukan aksi jual bersih dalam angka fantastis dengan total mencapai Rp 5,6 triliun. Aksi jual ini terjadi pada banyak saham big cap yang semula ramai dikoleksi sejak awal tahun.
Sebelum pengumuman kenaikan suku bunga siklus kedua oleh The Fed, bursa domestik tampaknya tahan banting akan kaburnya dana asing, terlihat dari net buy yang tidak kunjung berhenti. Akan tetapi sejak pasar kembali buka setelah libur panjang, hal ini tidak lagi sama.
Meski demikian beberapa saham malah mencatatkan kenaikan, ketika emiten lain ramai dilepas oleh investor. Selain itu beberapa sektor juga mungkin dapat diuntungkan akibat kenaikan suku bunga yang akan dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Sektor finansial tampaknya menjadi salah satu yang akan diuntungkan oleh kenaikan suku bunga. Sektor tersebut secara historis menjadi yang paling sensitif terhadap perubahan suku bunga.
Hal ini salah satunya karena margin keuntungan yang diprediksi benar-benar meningkat saat suku bunga naik, entitas seperti bank, perusahaan asuransi, perusahaan pialang, dan pengelola uang umumnya diuntungkan oleh nilai suku bunga yang lebih tinggi.
Kenaikan suku bunga cenderung menunjukkan ekonomi yang kuat yang secara umum tercermin dari kondisi inflasi yang tidak terkontrol karena permintaan dan daya beli masyarakat yang meningkat. Kondisi ekonomi yang kuat itu biasanya berarti bahwa peminjam lebih mudah melakukan pembayaran pinjaman dan bank memiliki lebih sedikit aset bermasalah. Hal ini juga berarti bahwa bank dapat memperoleh lebih banyak dari selisih antara pembayaran (kepada penabung untuk rekening tabungan dan sertifikat deposito) dan penerimaan (dari utang berperingkat tinggi).
Sektor keuangan bukan satu-satunya yang diuntungkan. Saham konsumer diskresioner juga dapat mengalami lonjakan karena peningkatan lapangan kerja, ditambah dengan pasar perumahan yang lebih sehat, membuat konsumen cenderung berbelanja secara lebih royal untuk pembelian di luar bidang kebutuhan pokok konsumen.
Selain itu, investor juga dapat mengharapkan pengembalian yang solid di sektor-sektor defensif karena banyak pedagang yang berupaya mengalokasikan keuntungan mereka di sektor-sektor yang umumnya dianggap stabil selama penurunan pasar.
Dari pasar modal domestik, saham defensif yang memiliki kinerja saham fantastis sejak pasar kembali dibuka adalah Unilever Indonesia (UNVR). Kenaikan ini terjadi bahwa ketika saham-saham blue chip kapitalisasi besar lain, termasuk sektor perbankan, banyak dilepas asing dan mengalami koreksi dalam.
Data statistikBursa Efek Indonesia (BEI) mencatat sejak awal tahun hingga penutupan perdagangan Selasa (10/5) kemarin sektor tumbuh 0,54%, sebagian besar terpangkas akibat buruknya dikerja dalam dua hari terakhir. Adapun sektor dengan kenaikan tertinggi adalah sektor energi yang meningkat 39,47% didorong oleh reli harga komoditas.
Kenaikan suku bunga secara umum memang memberikan sinyal buruk bagi pasar modal. Di Amerika Serikat (AS) yang telah menaikkan suku bunganya dua kali tahun ini, kinerja pasar modalnya sudah tertekan dalam.
Tahun ini, S&P 500 telah jatuh 16%, awal terburuk dalam satu tahun dalam hampir satu abad. Sedangkan Nasdaq Composite ambles hingga 25%.
Beberapa perdagangan yang sangat populer dalam dua tahun terakhir mulai ditinggalkan. Banyak investor kecewa pada saham teknologi yang bernilai tinggi. Emiten yang baru IPO dan sempat terbang tahun lalu, telah kembali mendarat ke bumi dengan pasar yang sangat spekulatif, seperti ETF unggulan ARK Innovation milik Cathie Wood, telah anjlok.
Saham-saham yang bergantung pada pertumbuhan seperti yang banyak terdapat di sektor teknologi tampaknya menjadi yang sangat dirugikan akibat naiknya suku bunga yang pada akhirnya membuat biaya pinjaman juga meningkat.
Hal ini juga terlihat lewat proksi dana kelolaan milik pengusaha asal Jepang yang mulai melambat signifikan. Lima tahun setelah peluncurannya, Vision Fund SoftBank senilai total US$ 100 miliar dihantam oleh aksi jual di sektor teknologi, membuat kinerjanya tertinggal di belakang pasar saham secara keseluruhan sejak diluncurkan.
Vision Fund terakhir bernilai US$ 138,5 miliar pada akhir tahun 2021, memberikan pengembalian sekitar 40% selama 4,5 tahun. Meski terlihat tinggi angka tersebut tertinggal jauh di belakang pasar saham serta dana modal ventura lainnya. S&P 500 naik sekitar 72% dan Nasdaq Composite naik hampir dua kali lipat selama periode yang sama.
Lebih lanjut, tahun ini kinerja Vision Fund semakin buruk akibat aksi jual di banyak saham teknologi. Taruhan raksasa di sektor ride-hail telah merugikan dana tersebut, terutama dalam kasus Didi yang baru-baru ini membuat marah regulator China dan akan dihapus dari NYSE. Vision Fund menginvestasikan lebih dari US$ 12 miliar di Didi untuk 21% saham. Saham-saham itu sekarang bernilai kurang dari US$ 1,7 miliar.
Vision Fund juga melakukan investasi di Grab yang akhir tahun lalu melantai di Wall Street melalui jalur SPAC dan harganya telah tergerus tajam.
Meskipun Vision Fund mungkin telah menjual beberapa saham yang terdaftar awal tahun ini tanpa perlu mengungkapkannya, analis memperkirakan kerugian yang signifikan dari sahamnya di perusahaan publik dan swasta (termasuk start up). Dana dari investasi di perusahaan swasta menghasilkan lebih dari setengah nilai Vision Funf pada akhir tahun lalu.
Sementara itu dari dalam negeri, saham-saham emiten teknologi juga tertekan dalam. Dua perusahaan rintisan raksasa yang digadang-gadang akan memberikan warna baru bagi bursa, nyatanya gagal menarik perhatian publik dan valuasinya telah menguap signifikan.
Investor publik tampaknya sudah mulai enggan dengan 'basa-basi' bakar uang demi pertumbuhan yang akhirnya membuat perusahaan menderita kerugian dengan nilai fantastis.
Saham Bukalapak.com (BUKA) yang meskipun melaporkan laba dari akuisisi Allo Bank Indonesia (BBHI) telah terdepresiasi hingga 63% dari harga IPO di Rp 850/saham menjadi Rp 316/saham. Sementara itu raksasa lain yakni gabungan dua start up kebanggaan Indonesia Goto Gojek Tokopedia (GOTO) harganya telah surut nyaris sepertiga dari IPO di angka Rp 338/saham dan kini menjadi Rp 228/saham.
Secara keseluruhan sektor teknologi juga merupakan yang memiliki kinerja terburuk di bursa tahun ini dan telah terkoreksi hingga 12% tahun ini. Koreksi ini berlawanan dengan kinerja pasar modal yang secara keseluruhan malah mengalami peningkatan.
TIM RISET CNBC INDONESIA