'Maju Kena Mundur Kena', Wong Cilik Bakal Jadi Tumbal Rupiah?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 May 2022 10:40
Pengendara motor mengatre untuk mengisi bahan bakar Pertalite di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (17/9/2020). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Foto: Pengendara motor mengatre untuk mengisi bahan bakar Pertalite di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) kawasan Pondok Cabe, Tangerang Selatan, Banten, Kamis (17/9/2020). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Dunia saat ini sedang mengalami 'tsunami' inflasi. Di Amerika Serikat inflasi berada di level tertinggi dalam 40 tahun terakhir. Hal tersebut menjadi alasan The Fed agresif menaikkan suku bunga.

Di Indonesia, inflasi masih terkendali di dalam target BI 3% plus minus 1%. Namun, belakangan ini kenaikan harga-harga tersebut terus menunjukkan tren kenaikan.

Badan Pusat Statistik (BPS) kemarin mengumumkan data inflasi Indonesia periode April 2022 tumbuh 0,95% dibandingkan sebulan sebelumnya (month-to-month/mtm). Ini menjadi rekor tertinggi sejak 2017.

Sementara dibandingkan April 2021 (year-on-year/yoy), terjadi inflasi 3,47%. Ini adalah yang tertinggi sejak 2019.

Inflasi inti dilaporkan tumbuh 2,6% (yoy), tertinggi sejak Mei 2020 tetapi sedikit lebih rendah dari hasil polling Reuters 2,61% (yoy). Hingga April lalu, inflasi inti sudah naik dalam 7 bulan beruntun.

Margo Yuwono, Kepala BPS, menyebut ada sejumlah komoditas yang mengerek inflasi. Utamanya adalah minyak goreng, bensin khususnya Pertamax, daging ayam ras, tarif angkutan udara, dan ikan segar.

Seperti disebutkan sebelumnya, inflasi tersebut bisa semakin tinggi jika nilai tukar rupiah terus merosot. Saat nilai tukar rupiah terpuruk, maka beban impor minyak dan gas (migas) akan membengkak. Hal ini tentunya bisa memaksa pemerintah untuk segera merealisasikan kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis bensin Pertalite (RON 90) dan Liquefied Petroleum Gas (LPG), lonjakan inflasi pun di depan mata.

Tingginya harga minyak mentah dan gas alam membuat nilai impor migas Indonesia di kuartal I-2022 meroket hingga nyaris 68% menjadi US$ 8,6 miliar. Dengan asumsi kurs Rp 14.400/US$, maka nilai impor migas mencapai Rp 123 triliun. Jika kurs rupiah menyentuh Rp 15.000/US$, nilai impor tersebut akan membengkak menjadi Rp 129 triliun.

Selain migas, impor non-migas juga akan memicu inflasi jika nilai tukar rupiah terpuruk. Berdasarkan data dari BPS, impor non-migas terbesar yakni bahan baku/penolong yang berkontribusi 78,87% di kuartal I-2022, kemudian barang modal 15,3% dan sisanya barang konsumsi.

Ketika importir mengeluarkan biaya lebih besar, maka harga jual di dalam negeri juga akan naik yang pada akhirnya memicu inflasi. Semakin tinggi inflasi maka masyarakat yang pertama terkena dampaknya, daya beli akan menurun pada akhirnya berdampak ke pertumbuhan ekonomi.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> BI Bakal Naikkan Suku Bunga? Siap-Siap KPR Naik!

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular