Gandeng China Bangun Smelter, Vale Jadi Pemegang Minoritas

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
10 May 2022 17:55
A logo of the Brazilian mining company Vale SA is seen in Brumadinho, Brazil January 29, 2019.  REUTERS/Adriano Machado
Foto: VALE (REUTERS/Adriano Machado)

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Vale Indonesia Tbk (INCO) akhirnya menggandeng mitra baru asal China yaitu Zhejiang Huayou Cobalt Company Limited (Huayou) untuk membangun fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) nikel di Pomalaa, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara.

Rencana kerja sama dengan mitra asal China ini diungkapkan Vale setelah adanya pengumuman resmi dari Sumitomo Metal Mining Co Ltd (SMM) yang menyatakan keluar dari proyek nikel berteknologi High Pressure Acid Leaching (HPAL) di Pomalaa pada 25 April 2022 lalu.

Kendati demikian, yang bertindak sebagai pemimpin proyek smelter HPAL ini kini bukanlah berada di tangan Vale, melainkan di tangan mitra asal China, Huayou.

Presiden Direktur Vale Indonesia Febriany Eddy sempat mengungkapkan bahwa dalam kerangka perjanjian kerja sama (Framework Cooperation Agreement/ FCA) yang dilakukan antara Vale Indonesia dan Huayou pada Rabu, 27 April 2022 lalu, kedua belah pihak telah menyepakati hal-hal pokok yang terkait dengan proyek smelter HPAL di Pomalaa ini, salah satunya yaitu Huayou akan membangun dan melaksanakan proyek HPAL Pomalaa, dan PT Vale akan memiliki hak untuk mengakuisisi hingga 30% saham Proyek HPAL Pomalaa tersebut.

Lantas, mengapa Vale Indonesia hanya menjadi pemegang saham minoritas di proyek smelter baru ini?

Direktur Vale Bernardus Irmanto pun buka suara terkait hal ini. Irmanto menjelaskan bahwa keputusan ini diambil karena Huayou lah yang membawa teknologi dan pembangun konstruksinya.

"Ya tentu saja karena teknologi dan constructor-nya adalah Huayou. Dari sisi partner, paling tidak mereka harus menjadi pemegang saham pengendali (minimal 51%). Kalau Vale punya teknologinya, Vale akan ambil posisi mayoritas," tuturnya kepada CNBC Indonesia, Selasa (10/05/2022).

Menurutnya, Huayou sudah berpengalaman dalam membangun dan mengoperasikan proyek smelter nikel, terutama berbasis teknologi HPAL. Salah satu proyek Huayou yang sudah beroperasi di Indonesia berlokasi di Kawasan Industri Morowali, Sulawesi Tengah.

"Ini teknologi yang membawa kan Huayou berdasarkan proyek mereka di Morowali, jadi secara bisnis bisa dimaklumi kalau mereka mengambil posisi mayoritas," ucapnya.

Dia pun menjelaskan, skema kepemilikan saham 30% Vale Indonesia di proyek HPAL Pomalaa ini nantinya akan dilakukan setelah pabrik tuntas dibangun dan sudah beroperasi.

"Setelah pabrik jadi, baru Vale akan mengambil 30% saham dengan harga yang sudah ditetapkan di depan. Ini juga untuk memitigasi risiko teknis. Jadi, PTVI akan membeli saham pabrik yang sudah jadi dan beroperasi," jelasnya.

Dia mengatakan, dalam FCA yang telah disepakati pada April lalu, studi teknis ditargetkan tuntas maksimal dalam waktu enam bulan ke depan, sehingga diharapkan konstruksi bisa mulai dilakukan pada akhir tahun ini. Proses konstruksi pun ditargetkan memakan waktu sekitar tiga tahun, sehingga ditargetkan pembangunan tuntas dan bisa beroperasi di 2025.

Perlu diketahui, dalam FCA ini disebutkan bahwa proyek HPAL Pomalaa ini akan mengadopsi dan menerapkan proses, teknologi dan konfigurasi HPAL Huayou yang telah teruji untuk memproses bijih limonit (kadar rendah) dan bijih saprolit (kadar tinggi) dari tambang PT Vale di Pomalaa, untuk menghasilkan produk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dengan potensi kapasitas produksi hingga mencapai 120.000 metrik ton nikel per tahun.

Kapasitas produksi ini naik tiga kali lipat dari rencana sebelumnya bersama Sumitomo yang ditargetkan "hanya" sebesar 40 ribu ton per tahun.

Proyek smelter HPAL ini merupakan fasilitas pengolahan dan pemurnian bijih nikel menjadi bahan baku komponen baterai kendaraan listrik.

Adapun bijih nikel yang diolah melalui smelter HPAL ini biasanya bijih nikel kadar rendah (limonite nickel). Produk hasil olahan HPAL ini nanti bisa berupa Mix Hydroxide Precipitate (MHP) maupun Mix Sulphide Precipitate (MSP). Produk ini merupakan cikal bakal nickel sulphate atau cobalt sulphate yang menjadi bahan baku komponen baterai.

SMM sendiri mulanya bekerja sama dengan PT Vale Indonesia untuk mengerjakan pre-feasibility study pada 2012 lalu. Kemudian, pada 2018 bersama dengan Vale mengerjakan studi kelayakan atau feasibility study (FS).

"Namun, sebagian karena penyebaran Covid-19, tata cara pengurusan izin dan diskusi dengan PTVI (PT Vale Indonesia) tertunda. Dalam keadaan seperti ini, PTVI mulai mencari alternatif untuk mempromosikan proyek Pomalaa dengan SMM, dan SMM tidak dapat melanjutkan negosiasi dengan PTVI," jelas pernyataan resmi SMM, Senin (25/04/2022).

"Karena sulit untuk mempertahankan internal dan tim studi proyek eksternal tanpa prospek untuk kemajuan di masa depan, SMM memiliki menyimpulkan bahwa ia tidak punya pilihan selain untuk menghentikan penelitian," lanjutnya.


(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Wuih! 2021, Laba Bersih Vale Indonesia (INCO) Melesat 100%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular